Allah
The Lord of the heavens and the earth
The
Creator, sustrainer, above giving birth
Allah
is as He describes Himself with no additions
Beyond
which we do not ponder nor put conditions
He
is Allah, the most high who does not sleep
Nor
does His creation take part in His Majesty
It
is Allah alone who is worthy of worship
A
statement of truth relevealed to the mushriks
Tauhid
in Islamic religion is the most central
and the most essensial belief. Tauhid is a form of human commitment to Allah
SWT as a focus among all respects, thankfulness and the only source of value.
What Allah wants will be the value of human with tauhid. He will not accept
directions and authority except from Allah. His commitment to Allah is whole, total, positive and
strong, involving love and service, obedience and submission and also a
strong-willed heart to be in service to Allah, so Allah will bless us.
AQIDAH DAN TAUHID
Tauhid adalah aqidah. Aqidah adalah keyakinan.keyakinan
bahwa Allah itu Maha Esa. Mengapa keyakinan? Karena aqidah berarti ikatan yang
kuat antara manusia sebagai makhluk dengan Allah sebagai Khaliq. Kemudian dalam
masalah akidah ini, tauhid merupakan pembahasan utamanya. Tauhid dalam Islam
merupakan ajaran pokok yang harus dipahami dan diamalkan oleh semua pemeluknya.
Lebih dari itu, tauhid harus tercermin dalam kehidupan sehari-hari.
Seperti yang telah
diketahui pengertian iman kepada Allah adalah “diikrarkan dengan lisan,
membenarkan dengan hati dan mengamalkan semua rukunnya”. Orang yang beriman
adalah orang yang menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangannya. Keimanan
seseorang dapat diketahui dari berbagai amal ibadahnya, karena ketika mereka(orang-orang
yang beriman) melaksanakan perintah Allah mereka hanya berniat untuk mencari
ridho Allah.
JANGAN SALAH NIAT.
Pada saat ini, kita
dapat memperbaharui niat kita. Sejak saat ini juga, kita dapat berniat untuk
menghabiskan waktu kita, menggunakan kesempatan kita, dan mengerahkan segenap
kekuatan spiritual dan fisik kita untuk digunakan pada hal-hal yang jauh lebih
berguna, penuh perhatian dan tulus
Kita bisa menilai setiap kesempatan dalam melaksanakan
segala macam ibadah dengan penuh semangat. Kita bisa mengamati setiap
kesempatan yang dapat menjadikan kita mendapatkan ridha Allah dan berlomba
untuk melakukan amal saleh.
Kita bisa mengalami kemajuan dalam rangka mendapatkan
ridha Allah jika tidak memiliki pemikiran seperti "Saya sudah
membuat perbuatan yang baik, dan ini sudah cukup untuk hari ini," atau
"Dibandingkan dengan orang lain di sekitar saya, saya sudah melakukan
banyak usaha yang lebih besar, dan saya lebih baik dari mereka,.
Orang beriman Berniat untuk Hidup dengan Nilai Moral
Yang Diajarkan oleh Allah dalam Al Qur'an dengan Cara Terbaik selama 24 Jam
Sehari.
Orang beriman mengalami efek positif dari
"memperbaharui niatnya" setiap hari. Tujuan seorang beriman yang
memiliki sikap moral seperti ini (selalu memperbaharui niat) adalah agar
menjadi salah seorang diantara "para hamba yang paling dicintai
Allah." Untuk alasan seperti ini, saat dia bisa sepenuhnya mengadopsi
sikap moralitas ini, ia sekali lagi berkeinginan untuk menjadi lebih tulus,
lebih sensitif terhadap ridha Allah, dan lebih teliti, hal ini akan memperdalam
moralitasnya dan bahkan lebih.
Hal ini berlanjut hingga akhir hidupnya, ia tidak
pernah merasa bahwa usaha dan perbuatannya yang baik ini sudah mencukupi.
Akibatnya, iman, moralitas, kepribadian dan sikapnya, mengalami kemajuan
terus menerus dan pada akhirnya mencapai kesempurnaan.
Dan suatu amalan ibadah itu tidaklah akan diterima
kecuali jika terkumpul dua syarat, yaitu ikhlas dan ittiba’. Ikhlas
berkaitan dengan amalan hati yaitu niat, sedangkan ittiba’ adalah berkaitan
dengan amalan dzahir seseorang, apakah sesuai tuntunan Rasulullah SAW dalam beribadah atau
tidak. Dengan kata lain, niat ikhlas adalah tolak ukur ibadah hati dan
ittiba’ur rasul adalah tolak ukur ibadah dzahir. Dan oleh karena itu niat ada
tingkatannya, yang pertama adalah
menjadikan ridho Allah sebagai satu-satunya penggerak amal yang dikerjakan.
Itulah tingkatan yang utama bagi seorang mukmin. Firman Allah:
“Katakanlah: Sesungguhnya sholatku, ibadahku, hidupku dan
matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam” (QS: Al-An’am:162).
Dalam tingkatan ini adalah mereka yang meniatkan
setiap gerak dan diamnya karena mengharap ridho Allah semata, dan juga mereka
yang beribadah karena takut akan siksa neraka dan berharap kenikmatan
surga-Nya.
Tingkatan yang kedua, adialah mereka yang
menjadikan niat mengharap ridho Allah itu bercampur dengan tujuan lain yang
bersifat duniawi tetapi masih dalam lingkup fillah (dalam rangka karena Allah
SWT) pada penghujungnya. Pada tingkatan ini misalnya berwudlu untuk menyegarkan
badan atau fikiran untuk mengingat Allah.
Tingkatan yang ketiga, adalah niat untuk
mencari ridho Allah yang bercampur dengan keinginan lain yang bersifat duniawi
dan diluar dari lingkup fillah. Misal, melaksanakan ibadah untuk mendapatkan
pujian dari orang(Riya’). Riya’ disini termasuk dalam bentuk syirik.
“Barang siapa ingin memperlihatkan dan
memperdengarkan apa-apa yang mereka lakukan, maka Allah akan memperlihatkan dan
memperdengarkan kepada manusia nanti di hari kiamat dan memperburuknya”[1]
Tingkatan
yang keempat, adalah niat yang tidak ada di
dalamnya harapan mencari ridho Allah atau memperoleh pahala, akan tetapi
semata-mata mengejar kemanfaatan dunia. Niat seperti ini tidak memperoleh
bagian pahala dari Allah, akan tetapi bila amalannya itu sesuai dengan sebab-akibat
sunatullah yang Allah telah tetapkan, maka ia berkesempatan memperoleh manfaat
dunianya saja.
Adapun
contoh tentang berniat yaitu:
-
Menggambar. Ada sebuah hadist yang melarang untuk menggambar
makhluk Allah, dari Aisyah r.a diriwayatkan bahwa Rasulullah bersabda:
“Siksa
yang paling pedih pada hari akhir nanti disiapkan bagi mereka yang berusaha
menggambar makhluk Allah”(HR. Bukhari dan Muslim).[2]
Disini
diharamkan menggambar makhluk Allah jika niatnya ingin menyamai ciptaan Allah,
dan hal itu tergolong syirik. Tetapi jika niatnya untuk apresiasi seni tidak
apa-apa, lagi pula apa yang dibuat oleh manusia itu jauh dari sempurna
dibanding ciptaan Allah.
REFERENSI
Muhammad, Imam
Ibn Abdul Wahab. 2004. TAUHID. Yogyakarta: Mitra Pustaka
Al-Utsmaimin,
Muhammad. 2006. Syarah Kitab Tauhid. Jakarta: PT Darullah
[1] Di-takhrij
Al-Bukhari, Ar-Raqaq, Bab “Ar-Riya’ wa As- Sama’”, 4/191. Dan Muslim, Az-Zuhd,
Bab “Tahrim Ar-Riya’”, 4/2289. Hadist Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu
[2] Tauhid, Imam Muhammad Ibn Abdul Wahab, Bab 58 “Penjelasan Mengenai
Orang yang Membuat Gambar Makhluk Hidup”, hal 363