BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Hadits sebagai sumber hukum kedua dalam Islam
ternyata mempunyai sejarah dan terklasifikasikan. Pengklasifikasian
hadits berdasarkan
beberapa kriteria yakni klasifikasi hadis
berdasarkan kuantitas
dan berdasarkan kualitas.
Sebagian
ulama berbeda pendapat tentang pembagian hadis yang ditinjau dari segi
kuantitasnya ini. Maksud tinjauan dari
segi kuantitas disini adalah dengan menelusi jumlah para perawi yang menjadi
sumber adanya suatu hadis. Para ahli yang ada mengelompokkan menjadi tiga
bagian, yakni hadis mutawatir, masyhur dan
ahad. Dan ada juga yang membaginya
hanya dua, yakni hadis mutawatir dan ahad. Begitupun tentang pembagian hadis dari segi kualitasnya tidak
lepas dari pembahasan mengenai pembagian mengenai hadis dari segi kuantitasnya,
yakni dibagi menjadi hadis mutawatir
dan ahad.
1.2 Rumusan Masalah
a. Bagaimana
pengelompokan hadis berdasarkan kuantitasnya?
b. Bagaimana
pengelompokan hadis berdasarkan kualitasnya?
c. Bagaimana
penjelasan tentang hadits mutawatir dan ahad?
d. Bagaimana
penjelasan tentang hadits shahih, hasan dan dha’if?
1.3 Tujuan
a. Untuk mengetahui pengelompokan hadits
berdasarkan kuantitasnya.
b. Untuk
mengetahui pengelompokan hadits berdasarkan kualitasnya.
c. Untuk
mengetahui penjelasan tentang hadits shahih.
d. Untuk
mengetahui penjelasan tentang hadits hasan.
e. Untuk
mengetahui penjelasan tentang hadits dha’if.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Hadis Ditinjau dari
Segi Kuantitasnya
Terdapat perbedaan pendapat antar ulama’ tentang
hadis masyhur yang berdiri sendiri, tidak termasuk bagian dari hadis ahad.
Sedangkan ulama sebagian lainnya yang dimana diikuti oleh kebanyakan ulama’
ushul dan ulama’ kalam. Menurut mereka, hadis masyhur bukan merupakan hadis
yang berdiri sendiri, melainkan bagian dari hadis ahad. Mereka membagi hadis
menjadi dua bagian, mutawatir dan ahad.[1]
2.1.1 Hadis Mutawatir
Secara etimologi,
kata mutawatir berarti: Mutatabi’ (beriringan tanpa jarak). Dalam terminologi
ilmu hadits, ia merupakan hadits yang diriwayatkan oleh
orang banyak, dan berdasarkan logika atau kebiasaan, mustahil mereka akan
sepakat untuk berdusta. Periwayatan seperti itu terus menerus
berlangsung, semenjak thabaqat yang pertama sampai thabaqat yang terakhir.
Ulama
mutaqaddimin berbeda pendapat dengan ulama muta’akhirin tentang syarat-syarat
hadits mutawatir. Ulama mutaqaddimin berpendapat bahwa hadits mutawatir tidak
termasuk dalam pembahasan ilmu isnad al-hadits, karena ilmu ini membicarakan
tentang shahih tidaknya suatu khabar, diamalkan atau tidak, adil atau tidak
perawinya. Sementara dalam hadits mutawatir masalah tersebut tidak dibicarakan.
Jika sudah jelas statusnya sebagai hadits mutawatir, maka wajib diyakini dan diamalkan.[2]
Syarat-syarat Hadis Mutawatir
Menurut ulama mutaakhirin, ahli ushul,
suatu hadis dapat ditetapkan sebagai Hadis Mutawatir,
bila memenuhi syarat-syarat berikut:
1. Diriwayatkan
oleh Sejumlah Besar Perawi
Hadis Mutawatir harus diriwayatkan oleh
sejumlah besar perawi yang membawa keyakinan bahwa mereka itu tidak mungkin
bersepakat untuk berdusta. Ulama berbeda pendapat tentang jumlah minimal
perawi. Al-Qadhi Al-Baqilani menetapkan bahwa jumlah perawi hadits mutawatir
sekurang-kurangnya 5 orang, alasannya karena jumlah Nabi yang mendapat gelar
Ulul Azmi sejumlah 5 orang. Al-Istikhari menetapkan minimal 10 orang, karena 10
itu merupakan awal bilangan banyak.[3]
Demikian seterusnya sampai ada yang menetapkan jumlah perawi hadits mutawatir
sebanyak 70 orang.[4]
2. Adanya
Keseimbangan Antar Perawi Pada Thabaqat
pertama dengan Thabaqat berikutnya
Keseimbangan jumlah
perawi pada setiap thabaqat merupakan salah satu persyaratan.
3. Berdasarkan
Tangkapan Pancaindra
Berita yang disampaikan para perawi
harus berdasarkan pancaindera. Artinya, harus benar-benar dari hasil
pendengaran atau penglihatan sendiri. Oleh karena itu, apabila berita itu
merupakan hasil renungan, pemikiran, atau rangkuman dari suatu peristiwa lain,
atau hasil istinbath dari dalil yang lain, maka tidak dapat dikatakan hadits
mutawatir.
Macam-macam Hadis Mutawatir
Menurut sebagian ulama’, hadis mutawatir
ini dibagi menjadi dua yaitu, mutawatir
lafdzi dan mutawatir ma’nawi.
Namun ada juga yang membaginya menjadi tiga, yaitu ditambah dengan hadis mutawatir ‘amali.
1. Hadis
Mutawatir Lafdzi
Hadits mutawatir
Lafzhi, yaitu hadits yang diriwayatkan dengan lafaz dan makna yang sama, serta
kandungan hukum yang sama, contoh:
قالرسولالله عليه وسلم من كذب علي فليتبوا مقعده من
النار
Rasulullah SAW
bersabda, “Barang siapa yang ini sengaja berdusta atas namaku, maka
hendaklah dia siap-siap menduduki tempatnya di atas api neraka”.
Menurut Al-Bazzar,
hadits ini diriwayatkan oleh 40 orang sahabat. Al-Nawawi menyatakan bahwa
hadits ini diriwayatkan oleh 200 orang sahabat.
2. Hadits
Mutawatir Ma’nawi
Hadits Mutawatir
Ma’nawi, yaitu hadits mutawatir yang berasal dari berbagai hadits yang
diriwayatkan dengan lafadz yang berbeda-beda, tetapi jika disimpulkan,
mempunyai makna yang sama tetapi lafadznya tidak. Contoh hadits yang
meriwayatkan bahwa Nabi Muhammad SAW mengangkat tangannya ketika berdo’a.
قال
ابو مسى مرفع رسول الله صلى عليه وسلم يديه حتى زوي بياض ابطه في شئ من دعائة الا في الاستسقاء (رواه
البخارى و مسلم)
“Abu Musa Al-Asy’ari
berkata bahwa Nabi Muhammad SAW, tidak pernah mengangkat kedua tangannya dalam
berdo’a hingga nampak putih kedua ketiaknya kecuali saat melakukan do’a dalam
sholat istisqo’ “. (HR. Bukhori dan Muslim)
3. Hadits
Mutawatir ‘Amali
Hadits Mutawatir
‘Amali, yakni amalan agama (ibadah) yang dikerjakan oleh Nabi Muhammad SAW,
kemudian diikuti oleh para sahabat, kemudian diikuti lagi oleh Tabi’in, dan
seterusnya, diikuti oleh generasi sampai sekarang. Contoh, hadits-hadits nabi
tentang shalat dan jumlah rakaatnya, shalat id, shalat jenazah dan sebagainya.
Segala amal ibadah yang sudah menjadi ijma’ di kalangan ulama dikategorikan
sebagai hadits mutawatir ‘amali.
Kitab-kitab yang secara
khusus memuat hadits-hadits mutawatir adalah sebagai berikut :
1) Al-Azhar
Al-Mutanatsirah fi Al-Mutawatirah, yang dsusun oleh Imam Suyuthi. Muhammad
‘Ajaj Al-Khatib, kitab ini memuat 1513 hadits.
2) Nazhm
Al-Mutanatsirah min Al- Hadits al Mutawatir yang disusun oleh Muhammad bin
Ja’far Al-Kattani (w. 1345 H)[5]
2.1.2 Hadis Ahad
Ulama ahli
secara garis besarnya membagi hadis Ahad menjadi dua, yaitu hadis masyhur dan ghairu masyhur. Dan hadis ghairu masyhur dibagi lagi menjadi dua,
yaitu ’aziz dan ghairu aziz.
1. Hadis
masyhur
Menurut
bahasa, masyhur berarti “sesuatu yang sudah tersebar dan popular”. Sedangkan
definisi menurut ulama’ ushul:
ما
رواه من الصحابه عدد لا يبلغ حد ثواتر بعد الصحابة ومن بعدهم
“Hadits yang
diriwayatkan dari sahabat tetapi bilangannya tidak sampai pada tingkatan
mutawatir, kemudian baru mutawatir setelah sahabat dan orang yang setelah
mereka”.
Hadis ini dinamakan
masyhur karena telah tersebar luas dikalangan masyarakat. Ada ulama yang
memasukkan hadis masyhur “segala hadis yang popular dalam masyarakat,
sekalipun tidak mempunyai sanad sama sekali, baik berstatus shahis atau
dha’if”.[6]
Hadis masyhur ada yang
berstatus shahih, hasan dan dhaif. Hadits masyhur yang berstatus shahih adalah
yang memenuhi syarat-syarat hadits shahih baik sanad maupun matannya. Sedangkan
hadits masyhur yang berstatus hasan adalah hadits yang memenuhi
ketentuan-ketentuan hadits hasan, baik mengenai sanad maupun matannya. Adapun
hadits masyhur yang dhaif adalah hadits yang tidak memenuhi syarat-syarat
hadits shahih dan hasan, baik pada sanad maupun pada matannya
Hadis masyhur dapat
digolongkan kepada:
1) Masyhur
dikalangan ahli hadits, seperti hadits yang menerangkan bahwa Rasulullah SAW
membaca do’a qunut sesudah rukuk selama satu bulan penuh berdo’a atas golongan
Ri’il dan Zakwan. (H.R. Bukhari, Muslim, dll).
2) Masyhur
dikalangan ulama ahli hadits, ulama-ulama dalam bidang keilmuan lain, dan juga
dikalangan orang awam, seperti :
المسلم من سلم المسلمون من لسانه ويدة
“Orang Islam (yang sempurna) itu adalah: orang-orang
islam selamat dari lidah dan tangannya”. (HR. Bukhari-Muslim)
3) Masyhur
dikalangan ahli Fiqh, seperti:
نهي رسول الله عليه وسلم عن بيع
العرر
“Raulullah
SAW melarang jual beli yang didalamnya terdapat tipu daya”.
4) Masyhur
dikalangan ahli ushul Fiqh, seperti:
اذا حكم الحاكم ثم اجتهد فا صاب فله اجران
واذا حكم فاجتهد ثم احطا فله اجر
“Apabila seorang hakim
memutuskan suatu perkara kemudian dia berijtihad dan kemudian ijtihadnya benar,
maka dia memperoleh dua pahala (pahala Ijtihad dan pahala kebenaran), dan
apabila ijtihadnya itu salah, maka dia memperoleh satu pahala (pahala Ijtihad).”
5) Masyhur
dikalangan ahli Sufi, seperti:
كنت
كنزا مخفيا فاحببت ا ن اعرف فخلقت الخلق قبي عر فوني
“Aku pada mulanya
adalah harta yang tersembunyi, kemudian aku ingin dikenal, maka kuciptakan
makhluk dan melalui merekapun mengenal-Ku”.
6) Masyhur
dikalangan ulama Arab, seperti ungkapan, “Kami orang-orang Arab yag paling
fasih mengucapkan “(dha)” sebab kami dari golongan Quraisy”.
2. Hadis
Ghairu Masyhur
Hadis Ghairu masyhur
ini digolongkan menjadi dua oleh ahli ulama hadis, yaitu ‘Aziz dan ghairu
‘Aziz.
1. Hadis
‘Aziz
Aziz menurut bahasa
berasal dari kata azza-yaizu, artinya “sedikit atau jarang”. Menurut istilah
hadits Aziz adalah hadits yang perawinya tidak kurang dari dua orang dalam
semua tingkatan sanad.”
Dari pengertian diatas
dapat dikatakan bahwa suatu hadits dapat dikatakan hadits Aziz bukan hanya yang
diriwayatkan dua orang pada setiap tingkatnya, tetapi selagi ada tingkatan yang
diriwayatkan oleh dua rawi, contoh hadits ‘aziz:
لايؤمن
احدكم حتي اكون احب اليه من والده وولده والناس اجمعين
“Tidak beriman seorang
di antara kamu, sehingga aku lebih dicintainya dari pada dirinya, orang tuanya,
anaknya, dan semua manusia”. (H.R. Bukhari dan Muslim)
2. Hadis
Ghairu ‘Aziz
Adapun hadits Gharib,
menurut bahasa berarti “al-munfarid” (menyendiri). Dalam tradisi ilmu
hadits, ia adalah “hadits yang diriwayatkan oleh seorang perawi yang menyendiri
dalam meriwayatkannya, baik yang menyendiri itu imamnya maupun selainnya”.
Penyendirian perawi dalam
meriwayatkan hadits itu bias berkaitan dengan personalitasnya, yakni tidak ada
yang meriwayatkannya selain perawi tersebut, atau mengenai sifat atau keadaan
perawi itu sendiri. Maksudnya sifat dan keadaan perawi itu berbeda dengan sifat
dan kualitas perawi-perawi lain, yang juga meriwayatkan hadits itu. Disamping
itu, penyendirian seorang perawi bias terjadi pada awal, tengah atau akhir
sanad.
2.2 Hadis Ditinjau dari
Segi Kualitasnya
2.2.1 Hadis Shahih
Shahih menurut lughat adalah lawan dari “saqim” , artinya sehat lawan sakit, haq
lawan bathil[7]
menurut ahli hadist, hadist shahih adalah hadist yang sanandnya bersambung,
dikutip oleh orang yang adil lagi cermat dari orang yang sama, sampai berakhir
pada Rasulullah SAW. Beberapa para ahli memberikan definisi antara lain sebagai
berikut :
§ Menurut
Ibn al-Shalah hadist shahih adalah
“hadist yang sanandnya bersambung (muttashil) melalui periwayatan orang yang
adil dan dhabit dari orang yang adil dan dhabit, sampai akhir sanadtidak ada
kejanggalan dan tidak ber’illat”.[8]
§ Menurut
Imam Al-Nawawi, hadist shahih adalah
“hadist yang bersambung sanadnya, diriwayatkan oleh perawi yang adil lagi dhabit, tidak syaz, dan tidak ber-‘illat”.[9]
ما نقله عدل تام الضبط متصل السنذ غير معلل ولا شاذ
“Hadist
yang dinukil (diriwayatkan) oleh rawi – rawi yang adil, sempurna ingatannya,
anadnya bersambung – sambung, tidak ber’illat, dan tidak janggal”. [10]
Dari defeisi diatas dapat diambil
kesimpulan bahwa hadist shahi mempunyai beberapa syarat yaitu :
3. Sanad-nya
bersambung
4. Perawinya
bersifat adil
5. Perawinya
bersifat dhabit
6. Matannya
tidak syaz
7. Matannya
tidak mengandung iillat
§ Sanadnya
bersambung
Maksud
dari sandanya bersambung adalah bahwa tiap – tiap perawi dalam sanad hadist
menerima riwayat hadist dari periwayat terdekat sebelum-nya, keadaan itu
bersambung demikian sampai akhir sanad dari hadist itu. Dengan demikian jelas
bahwa Hadist mursal, munqati’, mu’dhal, dan muallaq, tidak tergolong hadist
shahih.[11]
§ Perawinya
bersifat adil
Menurut bahasa adil
berarti lurus, tidak berat sebelah, tidak dzalim, dan tidak menyimpang, tulus
dan jujur, baik tingkah lakunya.[12] Jadi yang dimaksud dengan perawi yang adil
dalam periwayatan hadist adalah semua perawinya, islam dan baligh, dan juga
memenuhi syarat sebagai berikut:
a. Senantiasa
melaksanakan semua perintah agam dan meninggalkan semua larangannya;
b. Senantiasa
menjauhui perbuatan dosa kecil
c. Senantiasa
memelihara ucapan dan perbuatan yang dapat menodai muru’ah.
§ Perawinya
bersifat Dhabit
Menurut bahasa Dhabit
artinya “yang kokoh, yang kuat, yang sempurna
hafalannya”.[13]
Menurut Ibnu hajar al-‘Asqalani, perawi yang dhabit adalah yang kuat hafaalanya terhadap apa yang pernah didengar,
kemudian mampu menyampaikan hafalan tersebut kapan dan dimana saja diperlukan.
Ada dua
kategori pengertian dhabit dalam periwayatan hadist yaitu dhabith fi- al-sadhr dan dhabit
fi l-kitab. dhabith fi-alsadhr adalah
terpeliharanya periayataan dalam ingatan sejenak menerima hadist sampai
meriwayatkannya kepada orang lain. Sedangkan dhabit fi al-kitab adalah
terpeliharanya kebenaran suatu periwayatan melalui tulisan.
§ Tidak
Syadz
Syadz adalah suatu
hadist yang bertentangan dengan hadist yang diriwayatkan oleh perawi lain yang
lebih kuat atau lebih tsiqoh. Dengan
demikian dapat dipahami bahwa hadist yang tidak syadz adalah hadist yang
matan-nya tidak bertentangan dengan hadist lain yang lebih kuat dan tsiqah.
§ Tidak
ber-‘illat.
‘Illat berarti cacat,
penyakit, keburukan dan kesalahan dalam membaca. Maka hadist yang ber’illat
adalah hadist yang ada cacat atau penyakitnya. Menurut istilah ‘illat berarti
suatu yang samar-samar atau tersembunyi, yang karenanya dapat merusak
keshahihan hadist tersebut. Dikatakan samar-samar karena jika dilihat dari segi
lahiriyah, hadist tersebut terlihat shahih. Adanya kesamaran tersebut
mengakibatkan nilai kualitasnya menjadi tidak shahih. Jadi dapat disimpulkan
bahwa hadist yang tidak ber’illat adalah hadist yang tidak terdapat kesamaran
atau keraguan.
A.
Klasifikasi
Hadist
Dalam hadist shahih terbagi menjadi dua,
yaitu :
1. Shahih li dzatih
Hadist shahih yang
memenuhi syarat – syaratnya secara maksimal
2. Shahih li ghairi
Hadist shahih yang
tidak memenuhi syarat-syaratnya secara maksimal. Seperti rawinya yang adil
tidak sempurna kedhabitannya.
B.
Martabat
Hadit Shahih
Hadist
yang paling tinggi derajatnya adalah hadist yang bersanad ashalul asanid, kemudian berturut-turut sebagai:
1. Hadist
yang disepakati oleh Bukhori Muslim
2. Hadist
yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori sendiri.
3. Hadist
yang diriwayatkan oleh Imam Muslim sendiri
4. Hadist
yang diriwayatkan menurut syarat-syarat Bukhari-Muslim
5. Hadist
shahih menurut syarat Bukhari, sedangkan Imam Bukhari sendiri tidak men-takhrij-nya.
6. Hadist
shahih menurut syarat Muslim, sedangkan Imam Muslim sendiri tidak men-takhrij-nya.
7. Hadist
yang tidak menurut salah satu syarat dari kedua imam Bukhari dan Imam Muslim
C.
Karya-Karya
yang Hanya Memuat Hadist Shahih
Diantara karya-karya yang hanya
memuat hadist shahih adalah:
1. Shahih Bukhari
2. Shahih Muslim
3. Mustadrak Al-Hakim
4. Shahih Ibn Hibban
5. Shahih Ibnu Khuzaimah
2.2.2 Hadis Hasan
Menurut lughat adalah sifat musyabahah dari ‘Al-Husna’, menurut artinya bagus.
Menurut Ibnu Hajar, hadist hasan
adalah
خبر الاحاد بنقل عدل تام الظبط متصل السند غير معلل ولا
شاذ
“Khabar ahad yang dinukil oleh orang yang adil, kurang sempurna
hapalanya, bersambung sanadnya, tidak cacat dan tidak syadz”.[14]
Untuk
membedakan antara hadist shahih dan hadist hasan. Harus mengetahui batasan dari
kedua hadit tersebut. Batasan dari kedua hadist tersebut adalah keadilan pada
hadist hasan disandang oleh orang ang tidak begitu kuat ingatannya, sedangkan
pada hadist shaahih terdapat rawi-rawi yang benar- benar kuat ingatannya. Akan
tetapi, keduanya bebas dari keganjilan dan penyakit.
A. Klasifikasi Hadist Hasan
Hadist hasan terbagi menjadi dua, yaitu:
1. Hasan Li Dzatih
Adalah hadist yang memenuhi segala syarat-syarat hadist hasan.
Syarat untuk hadist hasan sebagaimana syarat untuk hadist shahih, kecuali bahwa
para rawinya hanya termasuk kelompok keempat (shaduq) aatau istilah lain yang setaraf atau sama dengan tingkatan
tersebut.[15]
2. Hasan Li Ghairih
Adalah hadist dhaif ayng bukan dikarenakan rawinya pelupa,
banyak salah dan orang fasik, yag mempunyai mutabi’
dan syahid. Hadist dhaif yng karena
rawinya buruk dalam penghafalan (su’u al-hafidz), tidak dikenal identitasnya (mastur) dan mudallis (menyembunyikan cacat) dapat naik derajatnya menjadi hasan li gharih karena dibantu oleh
hadist-hadist lain yang semisal dan semakna atau karena banyak rawi yang meriwayatkan.
B. Kedudukan Hadist Shahih dan
Hasan dalam Berhujjah
Kebanyakan ulama’ ahli hadist dan fuqhaha bersepakat untuk
menggunakan hadist shahih dan hadist hasan sebagai hujjah. Disamping itu, ada ulamaa’ yang mensyaratkan bahwa hadist
hasan dapat digunakan sebagai hujjah, bilamana
memenuhi sifat-sifat yang dapat diterima. Pendapat terakhir ini memerlukan
peninjauan yan seksama. Sebab, sifat-sifat yang dapat diterima itu ada yang
tinggi, mencegah, dan rendah. Hadist yang sifat diterima tinggi dan menengah
adalah hadist shahih, sedangkan hadist
yang sifat dapat diterima rendah adalah hadist hasan.
C. Kitab-Kitab yang Mengandung
Hadist Hasan
Para ulama’ belum menyusun kitab khusus tentang hadist-hadist
hasan secara terpisah sebagaimana melakukan dalam hadis shahih, tetapi hadist hasan
banyak kita dapatkan sebagian kitab, diantaranya:
·
Fami’
At-Tirmidzi, dikenal sebagai Sunan At-Tirmidzi, merupakaan sumber untuk mengetahui hadist hasan.
·
Sunan
Abu Dawud
·
Sunan
Ad-Daruquthi.
2.2.3 Hadist Dhaif
Dahif menurut lughaat adalah
lemah, lawan dari qawi (yang kuat).[16]
Adapun menurut
Muhaditsin,
هو
كل حديث لم تجتمع فيه صفات القبول وقال اكثر العلماء هو مالم يجمع صفة الصحيج
والحسن
“Hadist dhaif adalah
semua hadist yang tidak terkumpul padanya sifat – sifat bagi hadist yang
diterima dan menurut pendapat kebanyakan ulama’; hadist dhaif adalah yang
teidak terkumpul padanya sifat hadist
shaih dan hasan”.[17]
A.
Klasifikasi Hadist Dhaif
Para ulama’ muhaditsin mengemukakan sebab-sebab tertolaknya
hadist dari dua jurusan, yakni dari jurusan sanad
dan jurusan matan.
Sebab – sebab tertolaknya hadist dari jurusan sanad adalah:
2. Terwujudnya
cacat-cacat pada rawinya, baik tentang keadilan maupun ke-dhabit-annya.
3. Ketidak
bersambungannya sanad, dikarenakaan adalah seorang rawi atau lebih, yang
digugurkaan atau saling tidak bertemu satu sama lain.
Adapun cacat pada
keadilan dan k-dhabit-an rawi itu ada
sepuluh macam, yaitu sebagai berikut.
1. Dusta
2. Tertuduh
dusta
3. Fasik
4. Banyak
salah
5. Lengah
dalam menghafal
6. Menyalahi
riwayat orang kepercayaan
7. Banyak
waham (purbasangka)
8. Tidak
diketahui identitasnya
9. Penganut
bid’ah
10. Tidak
baik hafalannya
B. Klasifikasi Hadist
Dhaif Berdasarkan Cacat pada Keadilan dan Ke-dhabit-an Rawi
a.
Hadist
Maudhu’
هوالمختلع المصنوع المنسوب الى رسول الله صلى الله
عليه وسلم زورا وبهتانا سواء كان ذاللك عمدا ام خطاء
“Hadist yang dicipta serta dibuat oleh seseorang
(pendusta), yang ciptaan itu dinisbatkan kepada Rasulullah SAW. Secara palsu
dan dusta, baik disengaaja maupun tidak”. [18]
Ciri – ciri hadist
maudhu’ dapat dilihat pada sanad dan matan hadist.
1. Pada
Sanad
Adanya pengakuan dari
pembuat sendiri, qarinah-qarinah yang memperkuat adanya pengakuan membuat
hadist maughu’, dan qarinah-qarinah yang berpautan dengan tingkah lakunya.
2. Paada
Matan
Terdapat dua segi, yaitu
ma’na dan lafadz, dari segi ma’na yaitu bahwa hadist itu bertentangan dengan
Al-Qur’an, hadist mutawttir, ijma’, dan logika yang sehat. Dari segi lafadz
yaitu bila susunan kalimatnya tidak baik dan tidak fasih.
b.
Hadist
Matruk
Rawi yang tertuduh
dusta adalah seorang rawi yang terkenal dalam pembicaraan sebagai pendusta,
tetapi belum dapat dibuktikan bahwa sudah pernah berdusta dalam membuat hadist.
Seorang perawi yang tertuduh dusta, bila bertobat dengan sungguh – sungguh, dan
dapat diterima periwayatan hadist tersebut.
c.
Hadist
Munkar
Hadist munkar adalah
hadist yang ada sanadnya terdapat rawi yang jelek kesalahannya, banyak
kelengahan atau tampak klasifikasi.[19]
d.
Hadist
Syadzdz
Hadist Syadzdz adalah
hadist yang ddiriwayatkan oleh seorang rawi yang maqbul. Yang menyalahi riwayat orang yang lebih utama darinya, baik
karena jumlah lebih banyak ataupun lebih tinggi daya hafalannya.
C. Klasifikasi Hadist
Berdasarkan Gugurnya Rawi
a.
Hadist
Mu’allaq
Menurut bahasa, adlah
isim maf’ul yang berarti terikat dan tergantung. Sanad seperti disebut mu’allaq katenaa hanya terikat dan
tersambung pada bagian atas. Sementara bagian bawah terputus. Menurut istilah
hadist mu’allaq adalah hadist yang seorang rawinya atau lebih gugur dari awal
sanad secara berurutan.
b.
Hadist
Mu’dhal
Mu’dhala secara bahasa
adalah sesuatu yang dibuat lemah dan lebih karena para ulama’hadist dibuat
lelah dan letih untuk mengetahui karena beratnya ketidakjelasan dalam hadist
tersebut. Menurut istilah (Muhaditsin)
hadist mu’dhal adalah hadist yang putus sanadnya dua orang atau lebih secara
berurutan[20]
c.
Hadist
Mursal
Mursal menurut bahasa
yang berarti “yang dilepaskan”. Dan
menurut istilah adalah hadist yang gugur rawi dari sanadnya setelah tabi’in,
baik tabi’in besar maupun taabi’in kecil.
Seperti yang diketahui
hadist mursal yang digugurkan adalah sahabat yang langsung menerima berita dari
Rasulullah SAW. sedangkan yang mengugurkan dapat juga seorang tabi’in atau
sahabat kecil. Ditinjau dari seigi siapa yang menggugurkan dan sifat penguguran
hadist tersebut dapat dibagi pada hadist mursal
jail, mursal shahabi, dan mursal khafi. [21]
1. Mursal
Jali adalah penguguran yang telah dilakukan oleh wari (tabi’in) jelas sekali,
dapat diketahui oleh umum, bahwa orang yang menggugurkanitu tidak sezaman
dengan orang yang digugurkan yang mempunyai berita.
2. Mursal
shahabi adalah pemberitaan sahabat yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW.,
tetapi tidak tidak mendengarkaan atau menyaksikan sendiriyang diberitakan.
3. Mursal
khafi adalah hadist yang diriwayatkan tabi’in, mana tabi’in yang meriwayatkan
hidup sezaman dengan shahabi, tetapi tidak pernah mendengar sebuah hadist pun
darinya.
d.
Hadist
Munqathi
Hadist munqathi’ adalah
hadist yang gugur seorang rawinya sebelum sahabat di satu tempat, atau gugur
dua orang pada dua tempat dalam keadaan tidak berturut – turut.[41]
e.
Hadist
Mudallas
Hadist mudallas adalah
hadist yang diriwayatkan menurut cara yang diperkirakan bahwa hadist itu tidak
bernoda.[22]
rawi yang seerti itu disebut dengan mudallis. Hadist yang diriwayatkan mudallis
disebut mudallas, dan perbuatannya disebut dengan tadlis.
Macam-macam tadlis
sebagai berikut:
1. Tadlis
isnad adalah seorang rawi yang meriwayatkan suatu hadist dari orang yang sudah
bertemu, tetapi rawi tersebut tidak pernah mendengar hadist darinya.
2. Tadlis
syuyukh adalah seorang rawi meriwayatkan sebuah hadist yang didengarkan dari
seorang guru dengan menyebutkan nama kuniyah-nya,
nama keturunannya atau menyifati gurunya dengan sifat-sifat yang belum/tidak
dikenal oleh orang banyak.
3. Tadlis
taswiyah (Tajwid) adalah seorang rawi
meriwayatkan hadist dari gurunya yang tsiqoh, yang oleh guru tersebut diterima
dari gurunya yang lemah, dan guru yang lemah ini menerima dari seorang guru tsiqoh . tetapi mudallis tersebut
meriwatkan tanpa menyebutkan rawi – rawi yang lemah, bahkan meriwayatkan dengan
lafadzh yang mengandung pengertian bahwa
rawinya tsiqah semua.[23]
BAB III
PENUTUPAN
3.1
Kesimpulan
Sebagai akhir pembahasan tulisan ini, penulis sajikan kesimpulan
umum sebagai berikut:
1. hadits diyakini
sebagai sumber ajaran agama kedua setelah al-Quran. Disamping itu hadits juga
memiliki fungsi sebagai penjelas terhadap ayat-ayat al-Qur’an sebagaimana
dijelaskan dalam QS: an-Nahl ayat 44. Hadits tersebut merupakan teks kedua,
sabda-sabda nabi dalam perannya sebagai pembimbing bagi masyarakat yang
beriman.
2. Hadits berdasarkan kuantitas (banyaknya jumlah perawi) atau orang yang
meriwayatkan suatu hadits dapat dibagi menjadi dua, yaitu:
a. Hadist mutawattir
b. Hadist ahad
3. Berdasarkan
kualitas hadits dibagi menjadi tiga yaitu:
·
Hadits sahih
·
Hadits hasan
·
Hadits dhoif
DAFTAR PUSTAKA
Supatra,
Munzeir. 2011. Ilmu Hadis. Jakarta:
PT RajaGrafindo Persada
Solahudin,
M dan Suyadi Agus.2009.Ulumul Hadist.
Bandung : CV Pustaka Setia
Sulaiman, M. Noor. 2008. Antologi Ilmu Hadits. Jakarta: Gaung Persda Pres
Anwar,
Moh.1981.Ilmu Mushthaalah Hadist.
Surabaya : Usana Offset Printing
Ash-Shiddieqy,
M. Hasbi.1987. Sejarah dan Pengantar Imlu
Hadist. Jakarta : Bulan Bintang
Al-Khatib, Muhammad ‘Ajjaj.2004.Ushul Al-Hadist. Terj.H.M. Qodirun Nur dan Ahmad Musyafiq.Jakarta :
Gaya Media Pratama
Ibn al-Shalah dan Amir Utsman bin Abd al-rahman.1972. Ulum al-Hadist. Madinah : Maktabat al-Islamiyah
Rahman, fatchur.1974.Ikhtisar Musthahalah Al-Hadist. Bandung : Al-Maarif
Azami, Muhammad Mustafa.1978.Studies in Early Hadist Literature, American Trust Publication,
Indianopolis. Indiana
Soetari, Endang.2005.Ilmu Hadisti : Kajian diriwayah dan Dirayah.Bandung : Mimbar
Pustaka
Benpani. 2011. Makalah Studi Al-Hadis “Pembagian Hadis dari Segi Kuantitas dan
Kualitas”. Dari http://b3npani.wordpress.com/tugas-kuliah/92-2/ diakses
pada tanggal 26 September 2014
[1] M. Noor Sulaiman PL, Antologi Ilmu Hadits, Jakarta, Gaung Persda Pres, 2008. hlm. 86.
[2]
Ibid hlm 86.
[3]
Munzier Supatra. Ilmu Hadis. Jakarta.
PT. RajaGrafindo Persada. 2011. hlm 98
[4]
Ibid. Hlm 99
[6]
Munzier Supatra. Op.cit. hlm 111
[7] Ash-Shiddieqy,
M. Hasbi. Sejarah dan Pengantar Imlu Hadist. Jakarta: Bulan Bintang. 1987. hlm.
117
[8] Ibn
al-Shalah dan Amir Utsman bin Abd
al-rahman. Ulum al-Hadist. Madinah: Maktabat al-Islamiyah. 1972. hlm.10
[9] Abu
Zakariyah yahya bin Syaraf al-Nawawi, al_Thariq li al-Nawawi fi Ushul
al-Hadist, Kairo, t.th.h.2.
[10] Soetari,
Endang. Ilmu Hadisti : Kajian diriwayah dan Dirayah.Bandung: Mimbar Pustaka. 2005.
hlm.138
[11] Al-Khatib,
Muhammad ‘Ajjaj. Ushul Al-Hadist. Terj.H.M. Qodirun Nur dan Ahmad
Musyafiq.Jakarta : Gaya Media Pratama. 2004. hlm 305
[12] w.j.s
poerwardarminto, kamus bahasa indonesia hlm.16
[13]
Ibid. hlm.16
[14] Anwar,
Moh. Ilmu Mushthaalah Hadist. Surabaya Usana Offset Printing. 1981. Hlm. 38
[15] M.M
Azami metodelogi Kritik Hadist. Terj A.Yamin. Jakarta :Pustaka Hidayah. 1992. hlm.
103.
[16] soetari.
op.cit. hlm. 141.
[17] Al-Khatib.
op.cit. hlm. 337
[18] Soetari.
op.cit. hlm. 142
[19] Ibid.
hlm 80
[20] Ibid.
hlm 137
[21] rahman.
op.cit. hlm. 209
[22] ibid.
hlm. 209