Hadis Mutawatir
Mutawatir dalam segi bahasa memiliki
arti yang sama dengan kata “mutataabi’,artinya:” beruntun atau
beriring-iringan”, maksudnya beriring-iringan antara satu dengan yang lain
tanpa ada jaraknya”. sedang menurut istilah ialah:
ﻤﺎﺭﻭﺍﻩ ﺠﻤﻊ ﺘﺤﻴﻝ ﺍﻟﻌﺎﺩﺓ
ﺘﻭﺍﻁؤﻫﻡ ﻋﻟﻰ
ﺍﻟﻜﺫﺏ
“Hadits mutawatir ialah
hadits yang diriwayatkan oleh sejumlah besar perawi yang menurut adat, mustahil
mereka bersepakat lebih dahulu untuk berdusta.”
Ada juga yang mengatakan:
ﻤﺎﺭﻭﺍﻩ ﺠﻤﻊ ﺘﺤﻴﻝ ﺍﻟﻌﺎﺩﺓ
ﺘﻭﺍﻁؤﻫﻡ ﻋﻟﻰ ﺍﻟﻜﺫﺏ ﻋﻥ ﻤﺜﻠﻬﻡ ﻤﻥ ﺍﻭﻝ ﺍﻠﺴﻨﺩ ﺍﻠﻰ ﻤﻨﺘﻬﺎﻩ
“Hadis yang diriwayatkan
oleh sejumlah besar orang yang menurut adat mustahil mereka bersepakat terlebih
dahulu untuk berdusta. Sejak awal sanad sampai akhir sanad, pada setiap
tingkat(Thabaqat)”
Jadi, Hadits
mutawatir ialah hadits yang diriwayatkan oleh sejumlah perawi yang
menurut adat, mustahil mereka sepakat untuk berdusta, mulai awal sampai akhir
mata rantai sanad,pada setiap tabaqat atau generasi.
Dari definisi diatas, dapat dipahami bahwa hadits mutawatir adalah hadits yang
diriwayatkan oleh sejumlah besar perawi, yang menurut adat, pada umumnya dapat
memberikan keyakinan yang mantap, terhadap apa yang telah mereka beritakan, dan
mustahil sebelumnya mereka bersepakat untuk berdusta, mulai dari awal
matarantai sanad sampai pada akhir sanad.
Dalam hadits
mutawatir, para ahli berbeda-beda dalam memberikan tanggapan, sesuai dengan
latar belakang disiplin ilmu yang dimiliki mereka masing-masing, diantaranya
ialah:
1.
Ahli
hadits mutaqaddimin, tidak terlalu mendalam dalam memberikan bahasan,
sebab hadits mutawatir itu pada hakikatnya tidak dimasukkan ke dalam
peembahasan masalah-masalah:
a.
Ilmu
isnad yaitu ilmu mata rantai sanad, artinya sebuah disiplin ilmu yang hanya
membahas masalah shahih tidaknya, di amalkan dan tidaknya.
b.
Ilmu
rijal al-hadits, artinya semua pihak yang terkait dalam soal periwayatan hadits
dan metode penyampaian hadits.
Oleh sebab itu, jika status hadits itu mutawatir, maka kebenaran
didalamnya wajib di yakini dan semua isi yang terkandung didalamnya wajib di
amalkan, sekalipun diantara perawinya orang kafir.
2.
Ahli
hadits mutaakhirin dan ahli Ushul berkomentar bahwa hadits dapat disebut
dengan mutawatir jika memiliki syarat-syarat sebagaimana yang dijelaskan
berikut ini:
Syarat-syarat Hadis
Mutawatir
Menurut ulama mutaakhirin, ahli ushul,
suatu hadis dapat ditetapkan sebagai Hadis Mutawatir,
bila memenuhi syarat-syarat berikut:
1. Diriwayatkan
oleh Sejumlah Besar Perawi
Hadis Mutawatir harus diriwayatkan oleh
sejumlah besar perawi yang membawa keyakinan bahwa mereka itu tidak mungkin
bersepakat untuk berdusta. Ulama berbeda pendapat tentang jumlah minimal
perawi. Al-Qadhi Al-Baqilani menetapkan bahwa jumlah perawi hadits mutawatir
sekurang-kurangnya 5 orang, alasannya karena jumlah Nabi yang mendapat gelar
Ulul Azmi sejumlah 5 orang. Al-Istikhari menetapkan minimal 10 orang, karena 10
itu merupakan awal bilangan banyak.[1]
Demikian seterusnya sampai ada yang menetapkan jumlah perawi hadits mutawatir
sebanyak 70 orang.[2]
2. Adanya
Keseimbangan Antar Perawi Pada Thabaqat
pertama dengan Thabaqat berikutnya
Maksudnya
jumlah perawi generasi pertama dan berikutnya harus seimbang, artinya jika pada
generasi pertama berjumlah 20 orang, maka pada generasi berikutnya juga harus
20 orang atau lebih. akan tetapi jika generasi pertama berjumlah 20 orang, lalu
pada generasi kedua 12 atau 10 orang, kemudian pada generasi berikutnya 5 atau
kurang, maka tidak dapat dikatakan seimbang.
Sekalipun
demikian, sebagian ulama berpendapat bahwa keseimbangan jumlah pada tiap-tiap
generasi tidak menjadi persoalan penting yang sangat serius untuk diperhatikan,
sebab tujuan utama adanya keseimbangan itu supaya dapat tehindar dari
kemungkinan teejadinya kebohongan dalam menyampaika hadits.
3. Berdasarkan
Tangkapan Pancaindra
Berita yang disampaikan para perawi
harus berdasarkan pancaindera. Artinya, harus benar-benar dari hasil
pendengaran atau penglihatan sendiri. Oleh karena itu, apabila berita itu
merupakan hasil renungan, pemikiran, atau rangkuman dari suatu peristiwa lain,
atau hasil istinbath dari dalil yang lain, maka tidak dapat dikatakan hadits
mutawatir.
Macam-macam Hadis Mutawatir
Menurut sebagian ulama’, hadis mutawatir
ini dibagi menjadi dua yaitu, mutawatir
lafdzi dan mutawatir ma’nawi.
Namun ada juga yang membaginya menjadi tiga, yaitu ditambah dengan hadis mutawatir ‘amali.
1. Hadis
Mutawatir Lafdzi
Yang dimaksud dengan hadis mutawattir lafdzi adalah:
ﻤﺎ ﺘﻭﺍﺘﺭﺕ ﺭﻭﺍﻴﺘﻪ ﻋﻟﻰ ﻠﻓﻅ ﻭﺍﺤﺩ
“Hadits mutawatir lafzhi
ialah hadits yang kemutawatiran perawinya masih dalam satu lafal”
Jadi, hadits mutawatir Lafzhi,
yaitu hadits yang diriwayatkan dengan lafaz dan makna yang sama, serta kandungan
hukum yang sama.
Berat dan ketatnya kriteria hadis mutawattir lafdzi seperti diatas,
menjadikan jumlah hadis ini sangat sedikit. Menurut Ibnu Hibban dan Al-Hazimi,
bahwa hadis mutawattir dengan ta’rif in tiada diperoleh. Ibn Al-Shalah yang
diikuti olehAl-Nawawi menetapkan, bahwa hadis mutawattir lafdzi sedikit sekali dan sukar dikemukakan contohnya
selain hadis:
ﻤﻥ ﻜﺫﺏ ﻋﻟﻲ ﻤﺘﻌﻤﺩﺍ ﻔﻟﻴﺘﺒﻭﺃ
ﻤﻘﻌﺩﻩ ﻤﻥ ﺍﻠﻨﺎﺭ
‘‘barangsiapa saja yang
berbuat dusta terhadap diriku, maka tempat duduknya yang layak adalah Neraka’’
Dalam men-sikapi hadits
ini, para ahli berbeda-beda dalam memberikan komentar, diantaranya ialah:
·
Abu Bakar
al-Sairy menyatakan bahwa hadits ini diriwayatkan oleh 60 sahabat secara marfu’
·
Ibnu
Shalah berpendapat bahwa hadits ini diriwayatkan oleh 62 sahabat, termasuk
didalamnya adalah 10 sahabat yang dijamin masuk Surga.[3]
Menurut mereka tidak diketahui hadis lain yang didalam perawinya terkumpul 10
sahabat yang diakui masuk surga, kecuali hadis ini.
·
Ibrahim
al-Haraby dan Abu Bakar al-Bazariy berpendapat bahwa hadit ini diriwayatkan
oleh 40 sahabat.
·
Abu
Al-Qasim ibn Manduh berpendapat bahwa hadis ini diriwayatkan oleh lebih dari 80
orang.[4]ada
juga yang menyatakan, diriwayatkan oleh 100 sahabat.
2. Hadits
Mutawatir Ma’nawi
ما تواتر
معناه دون لفظه
Hadits Mutawatir
Ma’nawi, yaitu hadits mutawatir yang berasal dari berbagai hadits yang
diriwayatkan dengan lafadz yang berbeda-beda, tetapi jika disimpulkan,
mempunyai makna yang sama tetapi lafadznya tidak. Contoh hadits yang
meriwayatkan bahwa Nabi Muhammad SAW mengangkat tangannya ketika berdo’a.
قال
ابو مسى مرفع رسول الله صلى عليه وسلم يديه حتى زوي بياض ابطه في شئ من دعائة الا في الاستسقاء
(رواه البخارى و مسلم)
“Abu Musa Al-Asy’ari
berkata bahwa Nabi Muhammad SAW, tidak pernah mengangkat kedua tangannya dalam
berdo’a hingga nampak putih kedua ketiaknya kecuali saat melakukan do’a dalam
sholat istisqo’ “. (HR. Bukhori dan Muslim)
Hadis semacam ini
diriwayatkan dari Nabi SAW. Berjumlah sekitar 100 hadis dengan redaksi yang
berbeda-beda, tetapi mempunyai titik persamaan, yakni keadaan Nabi SAW
mengangkat tangan saat berdo’a. Meskipun masing-masing (hadis) terkait dengan
berbagai perkara (kasus) yang berbeda-beda. Masing-masing perkara tadi tidak
bersifat mutawatir. Penetapan bahwa mengangkat kedua tangan ketika berdoa itu
termasuk mutawatir karena pertimbangan digabungkannya berbagai jalur hadis
tersebut.[5]
3. Hadits
Mutawatir ‘Amali
ما علم من الدين باالضرورة وتواتر بين المسلمين ان النبي صلى الله عليه
وسلم فعله او امربه او غير ذلك وهو الذي ينطبق عليه تعريف الإجماع إنطباقا صحيحا
“Sesuatu yang diketahui
dengan mudah, bahwa dia termasuk urusan agama dan telah mutawatir antara umat
Islam, bahwa Nabi SAW mengerjakannya menyuruhnya, atau selain dari itu. Dan
pengertian ini sesuai dengan ta’rif Ijma.”
Macam hadis mutawatir
‘amali ini banyak jumlahnya, seperti hadis yang menerangkan waktu shalat,
raka’at shalat, shalat jenazah, shalat ‘id, tata cara shalat, pelaksanaan haji,
kadar zakat harta, dan lain-lain.
Hadis Ahad
Ahad adalah bahasa arab yang
berasal dari kata dasar ahad (ﺍﺤﺩ) , artinya satu (ﻭﺍﺤﺩ ,atau wahid ), Jadi khabar wahid adalah: ﻫﻭ ﻤﺎ
ﻴﺭﻭﻴﻪ ﺸﺨﺹ ﻭﺍﺤﺩ / suatu habar yang diriwayatkan oleh orang satu. sedang menurut
istilah hadits ahad ialah hadits yang tidak memenuhi syarat-syarat
hadits mutawatir.
Atau berarti:
ﺍﻠﺤﻴﺙ ﺍﻷﺤﺎﺩﻯ ﻫﻭ ﻤﺎ ﻻ ﻴﻨﺘﻬﻰ ﺍﻠﻰ
ﺍﻟﺘﻭﺍﺘﺭ
“Hadits yang tidak mencapai tingkatan hadits
mutawatir.”
Hadits ahad
terbagi menjadi 3 macam, yaitu : Masyhur,
‘Aziz, dan Gharib:
1. Hadis
masyhur
Menurut bahasa, masyhur
berarti “sesuatu yang sudah tersebar dan popular”. Sedangkan definisi menurut
ulama’ ushul:
ما
رواه من الصحابه عدد لا يبلغ حد ثواتر بعد الصحابة ومن بعدهم
“Hadits yang
diriwayatkan dari sahabat tetapi bilangannya tidak sampai pada tingkatan
mutawatir, kemudian baru mutawatir setelah sahabat dan orang yang setelah
mereka”.
Hadis ini dinamakan
masyhur karena telah tersebar luas dikalangan masyarakat. Ada ulama yang
memasukkan hadis masyhur “segala hadis yang popular dalam masyarakat,
sekalipun tidak mempunyai sanad sama sekali, baik berstatus shahis atau
dha’if”.[6]
Ulama hanafiyah
mengatakan bahwa hadis masyhur menghasilkan ketenangan hati, dekat dengan
keyakinan dan wajib diamalkan, akan tetapi bagi yang menolaknya tidak dikatakan
kafir.
Hadis masyhur ada yang
berstatus shahih, hasan dan dhaif. Hadits masyhur yang berstatus shahih adalah yang memenuhi syarat-syarat hadits shahih
baik sanad maupun matannya. Sedangkan hadits masyhur yang berstatus hasan adalah hadits yang memenuhi ketentuan-ketentuan
hadits hasan, baik mengenai sanad maupun matannya. Adapun hadits masyhur yang berstatus dhaif adalah hadits yang
tidak memenuhi syarat-syarat hadits shahih dan hasan, baik pada sanad maupun
pada matannya
Hadis masyhur dapat
digolongkan kepada:
1) Masyhur
dikalangan ahli hadits, seperti hadits yang menerangkan bahwa Rasulullah SAW
membaca do’a qunut sesudah rukuk selama satu bulan penuh berdo’a atas golongan
Ri’il dan Zakwan.
Hadis ini diriwayatkan Imam Bukhari dan Imam Muslim
dari riwayat Sulaiman Al-Taimi dari AbibMijlas dari Anas. Hadis ini juga
diriwayatkan dari Anas selain Sulaiman, serta dari Sulaiman oleh segolongan
perawi lain.
2) Masyhur
dikalangan ulama ahli hadits, ulama-ulama dalam bidang keilmuan lain, dan juga
dikalangan orang awam, seperti :
المسلم من سلم المسلمون من لسانه ويدة
“Orang Islam (yang sempurna) itu adalah: orang-orang
islam selamat dari lidah dan tangannya”. (HR. Bukhari-Muslim)
3) Masyhur
dikalangan ahli Fiqh, seperti:
نهي رسول الله عليه وسلم عن بيع
العرر
“Raulullah
SAW melarang jual beli yang didalamnya terdapat tipu daya”.
4) Masyhur
dikalangan ahli ushul Fiqh, seperti:
اذا حكم الحاكم ثم اجتهد فا صاب فله
اجران واذا حكم فاجتهد ثم احطا فله اجر
“Apabila seorang hakim
memutuskan suatu perkara kemudian dia berijtihad dan kemudian ijtihadnya benar,
maka dia memperoleh dua pahala (pahala Ijtihad dan pahala kebenaran), dan
apabila ijtihadnya itu salah, maka dia memperoleh satu pahala (pahala
Ijtihad).”
5) Masyhur
dikalangan ahli Sufi, seperti:
كنت
كنزا مخفيا فاحببت ا ن اعرف فخلقت الخلق قبي عر فوني
“Aku pada mulanya
adalah harta yang tersembunyi, kemudian aku ingin dikenal, maka kuciptakan
makhluk dan melalui merekapun mengenal-Ku”.
6) Masyhur
dikalangan ulama Arab, seperti ungkapan, “Kami orang-orang Arab yag paling fasih
mengucapkan “(dha)” sebab kami dari golongan Quraisy”.
Adapun hadis Ghairu
masyhur digolongkan menjadi dua oleh ahli ulama hadis, yaitu ‘Aziz dan ghairu
‘Aziz.
2. Hadis
‘Aziz
Aziz menurut bahasa
berasal dari kata azza-yaizu, artinya “sedikit atau jarang”. Menurut istilah
hadits Aziz adalah “hadits yang perawinya tidak kurang dari dua orang dalam
semua tingkatan sanad.”
Kiranya dapat
disimpulkan bahwa suatu hadis dikatakan ‘Aziz bukan saja yang diriwayatkan oleh
dua orang perawi pada tiap thabaqatnya, yakni sejak dari thabaqat pertama
sampai yang terakhir, tetapi selagi salah satu thobaqat didapati dua orang
perawi, tetap dikatakan sebagai hadis ‘Aziz. Contoh hadits ‘aziz:
لايؤمن
احدكم حتي اكون احب اليه من والده وولده والناس اجمعين
“Tidak beriman seorang
di antara kamu, sehingga aku lebih dicintainya dari pada dirinya, orang tuanya,
anaknya, dan semua manusia”. (H.R. Bukhari dan Muslim)
Hadis ‘Aziz yang shahih, hasan dan dha’if tergantung kepada terpenuhi
atau tidaknya ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan hadis shahih, hasan dan
dha’if.
1. Hadis
Ghairu ‘Aziz
Adapun hadits Gharib,
menurut bahasa berarti “al-munfarid” (menyendiri). Dalam tradisi ilmu
hadits, ia adalah “hadits yang diriwayatkan oleh seorang perawi yang menyendiri
dalam meriwayatkannya, baik yang menyendiri itu imamnya maupun selainnya”.
Penyendirian perawi
dalam meriwayatkan hadits itu bias berkaitan dengan personalitasnya, yakni
tidak ada yang meriwayatkannya selain perawi tersebut, atau mengenai sifat atau
keadaan perawi itu sendiri. Maksudnya sifat dan keadaan perawi itu berbeda
dengan sifat dan kualitas perawi-perawi lain, yang juga meriwayatkan hadits
itu. Disamping itu, penyendirian seorang perawi bias terjadi pada awal, tengah
atau akhir sanad.
إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى
“Sesungguhnya amal-amal
itu tergantung niatnya dan sesungguhnya masing-masing manusia itu akan
mendapatkan balasan sesuai dengan niatnya.”
Hadits ini
diriwayatakan hanya oleh Umar bin Khatab saja. Sedangkan yang meriwayatkan dari
Umar hanya saja. Yang meriwaytakan dari AlQomah hanya Muhamad bin Ibrahim
at-Taimi. Yang meriwayatakn dari Muhammad hanya. Yahya bin Sa’id Al Anshori.[7]
Sebagian
ulama’ lain menyebut hadits ini sebagai Al-Fard.
Hadits gharib dibagi menjadi dua :
·
Gharib Muthlaq, disebut
juga: Al-Fardul-Muthlaq; yaitu
bilamana kesendirian (gharabah)
periwayatan terdapat pada asal sanad (shahabat). Misalnya hadits Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam: ”Bahwa setiap
perbuatan itu bergantung pada niatnya” [HR. Al-Bukhari dan Muslim].
Hadits ini diriwayatkan
sendiri oleh Umar bin Al-Khaththab, lalu darinya hadits ini diriwayatkan oleh
‘Alqamah. Muhammad bin Ibrahim lalu meriwayatkannya dari ‘Alqamah. Kemudian
Yahya bin Sa’id meriwayatkan dari Muhammad bin Ibrahim. Kemudian setelah itu,
ia diriwayatkan oleh banyak perawi melalui Yahya bin Sa’id. Dalam gharib
muthlaq ini yang menjadi pegangan adalah apabila seorang shahabat hanya
sendiri meriwayatkan sebuah hadits.
·
Gharib Nisbi, disebut
juga : Al-Fardun-Nisbi; yaitu apabila
ke-gharib-an terjadi pada pertengahan
sanadnya, bukan pada asal sanadnya. Maksudnya satu hadits yang diriwayatkan
oleh lebih dari satu orang perawi pada asal sanadnya, kemudian dari semua
perawi itu hadits ini diriwayatkan oleh satu orang perawi saja yang mengambil
dari para perawi tersebut. Misalnya : Hadits Malik, dari Az-Zuhri (Ibnu Syihab),
dari Anas radliyallaahu ‘anhu :
”Bahwa Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam
masuk kota Makkah dengan mengenakan penutup kepala di atas kepalanya” [HR.
Al-Bukhari dan Muslim]. Hadits ini hanya
diriwayatkan oleh Malik dari Az-Zuhri. Dinamakan dengan gharib nisbi karena kesendirian periwayatan hanya terjadi pada
perawi tertentu.
[1]
Munzier Supatra. Ilmu Hadis. Jakarta.
PT. RajaGrafindo Persada. 2011. hlm 98
[2]
Ibid. Hlm 99
[3][3]
Yang dimaksud 10 sahabat adalah: Abu
Bakar As-Shiddiq, Umar bin Khattab, Usman bin Auf, Sa’id bin Malik, Sa’id bin
Zaid, dan Ubaidah ibn Jarrah
[4]
Muhammad Jamal Al-Din Al-Qasimi, Qawaid Al-Tahdits min Funun Musthalah
Al-Hadis,(Beirut: Dar Al-Kutub Al-‘Ilmiyah, 1979)hlm 172-173.
[5]
DR. Mahmud Thahan. Ilmu Hadits Praktis (terjemah Abu Fuad). Bogor: Pustaka
Thanqul Izzah, 2006, h.21-22.
[6]
Munzier Supatra. Op.cit. hlm 111
[7] Nuzhatun-Nadhar oleh Ibnu Hajar hal. 28 dan
Taisir Musthalah Al-Hadits oleh Mahmud Ath-Thahhan hal. 28.