Sunday, 30 November 2014

Hadis Mutawatir dan Hadis Ahad (fix)



Hadis Mutawatir
Mutawatir dalam segi bahasa memiliki arti yang sama dengan kata “mutataabi’,artinya:” beruntun atau beriring-iringan”, maksudnya beriring-iringan antara satu dengan yang lain tanpa ada jaraknya”. sedang menurut istilah ialah:
ﻤﺎﺭﻭﺍﻩ ﺠﻤﻊ ﺘﺤﻴﻝ ﺍﻟﻌﺎﺩﺓ ﺘﻭﺍﻁؤﻫﻡ ﻋﻟﻰ ﺍﻟﻜﺫﺏ                     
“Hadits mutawatir ialah hadits yang diriwayatkan oleh sejumlah besar perawi yang menurut adat, mustahil mereka bersepakat lebih dahulu untuk berdusta.”
Ada juga yang mengatakan:
ﻤﺎﺭﻭﺍﻩ ﺠﻤﻊ ﺘﺤﻴﻝ ﺍﻟﻌﺎﺩﺓ ﺘﻭﺍﻁؤﻫﻡ ﻋﻟﻰ ﺍﻟﻜﺫﺏ ﻋﻥ ﻤﺜﻠﻬﻡ ﻤﻥ ﺍﻭﻝ ﺍﻠﺴﻨﺩ ﺍﻠﻰ ﻤﻨﺘﻬﺎﻩ
“Hadis yang diriwayatkan oleh sejumlah besar orang yang menurut adat mustahil mereka bersepakat terlebih dahulu untuk berdusta. Sejak awal sanad sampai akhir sanad, pada setiap tingkat(Thabaqat)”
Jadi, Hadits mutawatir ialah hadits yang diriwayatkan oleh sejumlah perawi yang menurut adat, mustahil mereka sepakat untuk berdusta, mulai awal sampai akhir mata rantai sanad,pada setiap tabaqat atau generasi.
            Dari definisi diatas, dapat dipahami bahwa hadits mutawatir adalah hadits yang diriwayatkan oleh sejumlah besar perawi, yang menurut adat, pada umumnya dapat memberikan keyakinan yang mantap, terhadap apa yang telah mereka beritakan, dan mustahil sebelumnya mereka bersepakat untuk berdusta, mulai dari awal matarantai sanad sampai pada akhir sanad.
Dalam hadits mutawatir, para ahli berbeda-beda dalam memberikan tanggapan, sesuai dengan latar belakang disiplin ilmu yang dimiliki mereka masing-masing, diantaranya ialah:
1.      Ahli hadits mutaqaddimin, tidak terlalu mendalam dalam memberikan bahasan, sebab hadits mutawatir itu pada hakikatnya tidak dimasukkan ke dalam peembahasan masalah-masalah:
a.       Ilmu isnad yaitu ilmu mata rantai sanad, artinya sebuah disiplin ilmu yang hanya membahas masalah shahih tidaknya, di amalkan dan tidaknya.
b.      Ilmu rijal al-hadits, artinya semua pihak yang terkait dalam soal periwayatan hadits dan metode penyampaian hadits.
Oleh sebab itu, jika status hadits itu mutawatir, maka kebenaran didalamnya wajib di yakini dan semua isi yang terkandung didalamnya wajib di amalkan, sekalipun diantara perawinya orang kafir.
2.      Ahli hadits mutaakhirin dan ahli Ushul berkomentar bahwa hadits dapat disebut dengan mutawatir jika memiliki syarat-syarat sebagaimana yang dijelaskan berikut ini:
Syarat-syarat Hadis Mutawatir
Menurut ulama mutaakhirin, ahli ushul, suatu hadis dapat ditetapkan sebagai Hadis Mutawatir, bila memenuhi syarat-syarat berikut:
1.      Diriwayatkan oleh Sejumlah Besar Perawi
Hadis Mutawatir harus diriwayatkan oleh sejumlah besar perawi yang membawa keyakinan bahwa mereka itu tidak mungkin bersepakat untuk berdusta. Ulama berbeda pendapat tentang jumlah minimal perawi. Al-Qadhi Al-Baqilani menetapkan bahwa jumlah perawi hadits mutawatir sekurang-kurangnya 5 orang, alasannya karena jumlah Nabi yang mendapat gelar Ulul Azmi sejumlah 5 orang. Al-Istikhari menetapkan minimal 10 orang, karena 10 itu merupakan awal bilangan banyak.[1] Demikian seterusnya sampai ada yang menetapkan jumlah perawi hadits mutawatir sebanyak 70 orang.[2]

2.      Adanya Keseimbangan Antar Perawi Pada Thabaqat pertama dengan Thabaqat berikutnya
Maksudnya jumlah perawi generasi pertama dan berikutnya harus seimbang, artinya jika pada generasi pertama berjumlah 20 orang, maka pada generasi berikutnya juga harus 20 orang atau lebih. akan tetapi jika generasi pertama berjumlah 20 orang, lalu pada generasi kedua 12 atau 10 orang, kemudian pada generasi berikutnya 5 atau kurang, maka tidak dapat dikatakan seimbang.
Sekalipun demikian, sebagian ulama berpendapat bahwa keseimbangan jumlah pada tiap-tiap generasi tidak menjadi persoalan penting yang sangat serius untuk diperhatikan, sebab tujuan utama adanya keseimbangan itu supaya dapat tehindar dari kemungkinan teejadinya kebohongan dalam menyampaika hadits.

3.      Berdasarkan Tangkapan Pancaindra
Berita yang disampaikan para perawi harus berdasarkan pancaindera. Artinya, harus benar-benar dari hasil pendengaran atau penglihatan sendiri. Oleh karena itu, apabila berita itu merupakan hasil renungan, pemikiran, atau rangkuman dari suatu peristiwa lain, atau hasil istinbath dari dalil yang lain, maka tidak dapat dikatakan hadits mutawatir.
                  Macam-macam Hadis Mutawatir
      Menurut sebagian ulama’, hadis mutawatir ini dibagi menjadi dua yaitu, mutawatir lafdzi dan mutawatir ma’nawi. Namun ada juga yang membaginya menjadi tiga, yaitu ditambah dengan hadis mutawatir ‘amali.
1.      Hadis Mutawatir Lafdzi
Yang dimaksud dengan hadis mutawattir lafdzi adalah:
ﻤﺎ ﺘﻭﺍﺘﺭﺕ ﺭﻭﺍﻴﺘﻪ ﻋﻟﻰ ﻠﻓﻅ ﻭﺍﺤﺩ
“Hadits mutawatir lafzhi ialah hadits yang kemutawatiran perawinya masih dalam satu lafal”
Jadi, hadits mutawatir Lafzhi, yaitu hadits yang diriwayatkan dengan lafaz dan makna yang sama, serta kandungan hukum yang sama.
Berat dan ketatnya kriteria hadis mutawattir lafdzi seperti diatas, menjadikan jumlah hadis ini sangat sedikit. Menurut Ibnu Hibban dan Al-Hazimi, bahwa hadis mutawattir dengan ta’rif in tiada diperoleh. Ibn Al-Shalah yang diikuti olehAl-Nawawi menetapkan, bahwa hadis mutawattir lafdzi sedikit sekali dan sukar dikemukakan contohnya selain hadis:
ﻤﻥ ﻜﺫﺏ ﻋﻟﻲ ﻤﺘﻌﻤﺩﺍ ﻔﻟﻴﺘﺒﻭﺃ ﻤﻘﻌﺩﻩ ﻤﻥ ﺍﻠﻨﺎﺭ
‘‘barangsiapa saja yang berbuat dusta terhadap diriku, maka tempat duduknya yang layak adalah Neraka’’
Dalam men-sikapi hadits ini, para ahli berbeda-beda dalam memberikan komentar, diantaranya ialah:
·         Abu Bakar al-Sairy menyatakan bahwa hadits ini diriwayatkan oleh 60 sahabat secara marfu’
·         Ibnu Shalah berpendapat bahwa hadits ini diriwayatkan oleh 62 sahabat, termasuk didalamnya adalah 10 sahabat yang dijamin masuk Surga.[3] Menurut mereka tidak diketahui hadis lain yang didalam perawinya terkumpul 10 sahabat yang diakui masuk surga, kecuali hadis ini.
·         Ibrahim al-Haraby dan Abu Bakar al-Bazariy berpendapat bahwa hadit ini diriwayatkan oleh 40 sahabat.
·         Abu Al-Qasim ibn Manduh berpendapat bahwa hadis ini diriwayatkan oleh lebih dari 80 orang.[4]ada juga yang menyatakan, diriwayatkan oleh 100 sahabat.

2.      Hadits Mutawatir Ma’nawi
ما تواتر معناه دون لفظه
Hadits Mutawatir Ma’nawi, yaitu hadits mutawatir yang berasal dari berbagai hadits yang diriwayatkan dengan lafadz yang berbeda-beda, tetapi jika disimpulkan, mempunyai makna yang sama tetapi lafadznya tidak. Contoh hadits yang meriwayatkan bahwa Nabi Muhammad SAW mengangkat tangannya ketika berdo’a.

قال ابو مسى مرفع رسول الله صلى عليه وسلم يديه حتى زوي  بياض ابطه في شئ من دعائة الا في الاستسقاء (رواه البخارى و مسلم)

“Abu Musa Al-Asy’ari berkata bahwa Nabi Muhammad SAW, tidak pernah mengangkat kedua tangannya dalam berdo’a hingga nampak putih kedua ketiaknya kecuali saat melakukan do’a dalam sholat istisqo’ “. (HR. Bukhori dan Muslim)
Hadis semacam ini diriwayatkan dari Nabi SAW. Berjumlah sekitar 100 hadis dengan redaksi yang berbeda-beda, tetapi mempunyai titik persamaan, yakni keadaan Nabi SAW mengangkat tangan saat berdo’a. Meskipun masing-masing (hadis) terkait dengan berbagai perkara (kasus) yang berbeda-beda. Masing-masing perkara tadi tidak bersifat mutawatir. Penetapan bahwa mengangkat kedua tangan ketika berdoa itu termasuk mutawatir karena pertimbangan digabungkannya berbagai jalur hadis tersebut.[5]

3.      Hadits Mutawatir ‘Amali
ما علم من الدين باالضرورة وتواتر بين المسلمين ان النبي صلى الله عليه وسلم فعله او امربه او غير ذلك وهو الذي ينطبق عليه تعريف الإجماع إنطباقا صحيحا
“Sesuatu yang diketahui dengan mudah, bahwa dia termasuk urusan agama dan telah mutawatir antara umat Islam, bahwa Nabi SAW mengerjakannya menyuruhnya, atau selain dari itu. Dan pengertian ini sesuai dengan ta’rif Ijma.”

Macam hadis mutawatir ‘amali ini banyak jumlahnya, seperti hadis yang menerangkan waktu shalat, raka’at shalat, shalat jenazah, shalat ‘id, tata cara shalat, pelaksanaan haji, kadar zakat harta, dan lain-lain.


Hadis Ahad
Ahad adalah bahasa arab yang berasal dari kata dasar ahad (ﺍﺤﺩ) , artinya satu (ﻭﺍﺤﺩ ,atau wahid ), Jadi khabar wahid adalah: ﻫﻭ ﻤﺎ ﻴﺭﻭﻴﻪ ﺸﺨﺹ ﻭﺍﺤﺩ / suatu habar yang diriwayatkan oleh orang satu. sedang menurut istilah hadits ahad ialah hadits yang tidak memenuhi syarat-syarat hadits mutawatir.
Atau berarti:
ﺍﻠﺤﻴﺙ ﺍﻷﺤﺎﺩﻯ ﻫﻭ ﻤﺎ ﻻ ﻴﻨﺘﻬﻰ ﺍﻠﻰ ﺍﻟﺘﻭﺍﺘﺭ                        
“Hadits yang tidak mencapai tingkatan hadits mutawatir.”
Hadits ahad terbagi menjadi 3 macam, yaitu : Masyhur, ‘Aziz, dan Gharib:

1.      Hadis masyhur
Menurut bahasa, masyhur berarti “sesuatu yang sudah tersebar dan popular”. Sedangkan definisi menurut ulama’ ushul:
ما رواه من الصحابه عدد لا يبلغ حد ثواتر بعد الصحابة ومن بعدهم

“Hadits yang diriwayatkan dari sahabat tetapi bilangannya tidak sampai pada tingkatan mutawatir, kemudian baru mutawatir setelah sahabat dan orang yang setelah mereka”.

Hadis ini dinamakan masyhur karena telah tersebar luas dikalangan masyarakat. Ada ulama yang memasukkan hadis masyhur  segala hadis yang popular dalam masyarakat, sekalipun tidak mempunyai sanad sama sekali, baik berstatus shahis atau dha’if”.[6]
Ulama hanafiyah mengatakan bahwa hadis masyhur menghasilkan ketenangan hati, dekat dengan keyakinan dan wajib diamalkan, akan tetapi bagi yang menolaknya tidak dikatakan kafir.
Hadis masyhur ada yang berstatus shahih, hasan dan dhaif. Hadits masyhur yang berstatus shahih adalah yang memenuhi syarat-syarat hadits shahih baik sanad maupun matannya. Sedangkan hadits masyhur yang berstatus hasan adalah hadits yang memenuhi ketentuan-ketentuan hadits hasan, baik mengenai sanad maupun matannya. Adapun hadits masyhur yang berstatus dhaif adalah hadits yang tidak memenuhi syarat-syarat hadits shahih dan hasan, baik pada sanad maupun pada matannya
Hadis masyhur dapat digolongkan kepada:
1)      Masyhur dikalangan ahli hadits, seperti hadits yang menerangkan bahwa Rasulullah SAW membaca do’a qunut sesudah rukuk selama satu bulan penuh berdo’a atas golongan Ri’il dan Zakwan.
Hadis ini diriwayatkan Imam Bukhari dan Imam Muslim dari riwayat Sulaiman Al-Taimi dari AbibMijlas dari Anas. Hadis ini juga diriwayatkan dari Anas selain Sulaiman, serta dari Sulaiman oleh segolongan perawi lain.
2)      Masyhur dikalangan ulama ahli hadits, ulama-ulama dalam bidang keilmuan lain, dan juga dikalangan orang awam, seperti :
المسلم من سلم المسلمون من لسانه ويدة

“Orang Islam (yang sempurna) itu adalah: orang-orang islam selamat dari lidah dan tangannya”. (HR. Bukhari-Muslim)
3)      Masyhur dikalangan ahli Fiqh, seperti:
نهي رسول الله عليه وسلم عن بيع العرر

“Raulullah SAW melarang jual beli yang didalamnya terdapat tipu daya”.
4)      Masyhur dikalangan ahli ushul Fiqh, seperti:
اذا حكم الحاكم ثم اجتهد فا صاب فله اجران واذا حكم فاجتهد ثم احطا فله اجر

“Apabila seorang hakim memutuskan suatu perkara kemudian dia berijtihad dan kemudian ijtihadnya benar, maka dia memperoleh dua pahala (pahala Ijtihad dan pahala kebenaran), dan apabila ijtihadnya itu salah, maka dia memperoleh satu pahala (pahala Ijtihad).”
5)      Masyhur dikalangan ahli Sufi, seperti:
كنت كنزا مخفيا فاحببت ا ن اعرف فخلقت الخلق قبي عر فوني

“Aku pada mulanya adalah harta yang tersembunyi, kemudian aku ingin dikenal, maka kuciptakan makhluk dan melalui merekapun mengenal-Ku”.
6)      Masyhur dikalangan ulama Arab, seperti ungkapan, “Kami orang-orang Arab yag paling fasih mengucapkan “(dha)” sebab kami dari golongan Quraisy”.

Adapun hadis Ghairu masyhur digolongkan menjadi dua oleh ahli ulama hadis, yaitu ‘Aziz dan ghairu ‘Aziz.
2.      Hadis ‘Aziz
Aziz menurut bahasa berasal dari kata azza-yaizu, artinya “sedikit atau jarang”. Menurut istilah hadits Aziz adalah “hadits yang perawinya tidak kurang dari dua orang dalam semua tingkatan sanad.”
Kiranya dapat disimpulkan bahwa suatu hadis dikatakan ‘Aziz bukan saja yang diriwayatkan oleh dua orang perawi pada tiap thabaqatnya, yakni sejak dari thabaqat pertama sampai yang terakhir, tetapi selagi salah satu thobaqat didapati dua orang perawi, tetap dikatakan sebagai hadis ‘Aziz. Contoh hadits ‘aziz:
لايؤمن احدكم حتي اكون احب اليه من والده وولده والناس اجمعين

“Tidak beriman seorang di antara kamu, sehingga aku lebih dicintainya dari pada dirinya, orang tuanya, anaknya, dan semua manusia”. (H.R. Bukhari dan Muslim)
Hadis ‘Aziz yang shahih, hasan dan dha’if tergantung kepada terpenuhi atau tidaknya ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan hadis shahih, hasan dan dha’if.

1.      Hadis Ghairu ‘Aziz
Adapun hadits Gharib, menurut bahasa berarti “al-munfarid” (menyendiri). Dalam tradisi ilmu hadits, ia adalah “hadits yang diriwayatkan oleh seorang perawi yang menyendiri dalam meriwayatkannya, baik yang menyendiri itu imamnya maupun selainnya”.
Penyendirian perawi dalam meriwayatkan hadits itu bias berkaitan dengan personalitasnya, yakni tidak ada yang meriwayatkannya selain perawi tersebut, atau mengenai sifat atau keadaan perawi itu sendiri. Maksudnya sifat dan keadaan perawi itu berbeda dengan sifat dan kualitas perawi-perawi lain, yang juga meriwayatkan hadits itu. Disamping itu, penyendirian seorang perawi bias terjadi pada awal, tengah atau akhir sanad.
إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى

“Sesungguhnya amal-amal itu tergantung niatnya dan sesungguhnya masing-masing manusia itu akan mendapatkan balasan sesuai dengan niatnya.”
Hadits ini diriwayatakan hanya oleh Umar bin Khatab saja. Sedangkan yang meriwayatkan dari Umar hanya saja. Yang meriwaytakan dari AlQomah hanya Muhamad bin Ibrahim at-Taimi. Yang meriwayatakn dari Muhammad hanya. Yahya bin Sa’id Al Anshori.[7]
Sebagian ulama’ lain menyebut hadits ini sebagai Al-Fard. Hadits gharib dibagi menjadi dua :
·         Gharib Muthlaq, disebut juga: Al-Fardul-Muthlaq; yaitu bilamana kesendirian (gharabah) periwayatan terdapat pada asal sanad (shahabat). Misalnya hadits Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam: ”Bahwa setiap perbuatan itu bergantung pada niatnya” [HR. Al-Bukhari dan Muslim].
Hadits ini diriwayatkan sendiri oleh Umar bin Al-Khaththab, lalu darinya hadits ini diriwayatkan oleh ‘Alqamah. Muhammad bin Ibrahim lalu meriwayatkannya dari ‘Alqamah. Kemudian Yahya bin Sa’id meriwayatkan dari Muhammad bin Ibrahim. Kemudian setelah itu, ia diriwayatkan oleh banyak perawi melalui Yahya bin Sa’id.  Dalam gharib muthlaq ini yang menjadi pegangan adalah apabila seorang shahabat hanya sendiri meriwayatkan sebuah hadits.
·         Gharib Nisbi, disebut juga : Al-Fardun-Nisbi; yaitu apabila ke-gharib-an terjadi pada pertengahan sanadnya, bukan pada asal sanadnya. Maksudnya satu hadits yang diriwayatkan oleh lebih dari satu orang perawi pada asal sanadnya, kemudian dari semua perawi itu hadits ini diriwayatkan oleh satu orang perawi saja yang mengambil dari para perawi tersebut. Misalnya : Hadits Malik, dari Az-Zuhri (Ibnu Syihab), dari Anas radliyallaahu ‘anhu : ”Bahwa Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam masuk kota Makkah dengan mengenakan penutup kepala di atas kepalanya” [HR. Al-Bukhari dan Muslim].  Hadits ini hanya diriwayatkan oleh Malik dari Az-Zuhri. Dinamakan dengan gharib nisbi karena kesendirian periwayatan hanya terjadi pada perawi tertentu.




[1] Munzier Supatra. Ilmu Hadis. Jakarta. PT. RajaGrafindo Persada. 2011. hlm 98
[2] Ibid. Hlm 99
[3][3] Yang dimaksud 10 sahabat adalah: Abu Bakar As-Shiddiq, Umar bin Khattab, Usman bin Auf, Sa’id bin Malik, Sa’id bin Zaid, dan Ubaidah ibn Jarrah
[4] Muhammad Jamal Al-Din Al-Qasimi, Qawaid Al-Tahdits min Funun Musthalah Al-Hadis,(Beirut: Dar Al-Kutub Al-‘Ilmiyah, 1979)hlm 172-173.
[5] DR. Mahmud Thahan. Ilmu Hadits Praktis (terjemah Abu Fuad). Bogor: Pustaka Thanqul Izzah, 2006, h.21-22.
[6] Munzier Supatra. Op.cit. hlm 111
[7] Nuzhatun-Nadhar oleh Ibnu Hajar hal. 28 dan Taisir Musthalah Al-Hadits oleh Mahmud Ath-Thahhan hal. 28.

Thursday, 27 November 2014

Today Is Your’s (Munzila Kamalia)



               
 Happy birthday dear,,!! Doa kami yang terbauk buat kamu selalu 








Sunday, 30 November 2014

Hadis Mutawatir dan Hadis Ahad (fix)

Posted by Unknown at 10:34 0 comments


Hadis Mutawatir
Mutawatir dalam segi bahasa memiliki arti yang sama dengan kata “mutataabi’,artinya:” beruntun atau beriring-iringan”, maksudnya beriring-iringan antara satu dengan yang lain tanpa ada jaraknya”. sedang menurut istilah ialah:
ﻤﺎﺭﻭﺍﻩ ﺠﻤﻊ ﺘﺤﻴﻝ ﺍﻟﻌﺎﺩﺓ ﺘﻭﺍﻁؤﻫﻡ ﻋﻟﻰ ﺍﻟﻜﺫﺏ                     
“Hadits mutawatir ialah hadits yang diriwayatkan oleh sejumlah besar perawi yang menurut adat, mustahil mereka bersepakat lebih dahulu untuk berdusta.”
Ada juga yang mengatakan:
ﻤﺎﺭﻭﺍﻩ ﺠﻤﻊ ﺘﺤﻴﻝ ﺍﻟﻌﺎﺩﺓ ﺘﻭﺍﻁؤﻫﻡ ﻋﻟﻰ ﺍﻟﻜﺫﺏ ﻋﻥ ﻤﺜﻠﻬﻡ ﻤﻥ ﺍﻭﻝ ﺍﻠﺴﻨﺩ ﺍﻠﻰ ﻤﻨﺘﻬﺎﻩ
“Hadis yang diriwayatkan oleh sejumlah besar orang yang menurut adat mustahil mereka bersepakat terlebih dahulu untuk berdusta. Sejak awal sanad sampai akhir sanad, pada setiap tingkat(Thabaqat)”
Jadi, Hadits mutawatir ialah hadits yang diriwayatkan oleh sejumlah perawi yang menurut adat, mustahil mereka sepakat untuk berdusta, mulai awal sampai akhir mata rantai sanad,pada setiap tabaqat atau generasi.
            Dari definisi diatas, dapat dipahami bahwa hadits mutawatir adalah hadits yang diriwayatkan oleh sejumlah besar perawi, yang menurut adat, pada umumnya dapat memberikan keyakinan yang mantap, terhadap apa yang telah mereka beritakan, dan mustahil sebelumnya mereka bersepakat untuk berdusta, mulai dari awal matarantai sanad sampai pada akhir sanad.
Dalam hadits mutawatir, para ahli berbeda-beda dalam memberikan tanggapan, sesuai dengan latar belakang disiplin ilmu yang dimiliki mereka masing-masing, diantaranya ialah:
1.      Ahli hadits mutaqaddimin, tidak terlalu mendalam dalam memberikan bahasan, sebab hadits mutawatir itu pada hakikatnya tidak dimasukkan ke dalam peembahasan masalah-masalah:
a.       Ilmu isnad yaitu ilmu mata rantai sanad, artinya sebuah disiplin ilmu yang hanya membahas masalah shahih tidaknya, di amalkan dan tidaknya.
b.      Ilmu rijal al-hadits, artinya semua pihak yang terkait dalam soal periwayatan hadits dan metode penyampaian hadits.
Oleh sebab itu, jika status hadits itu mutawatir, maka kebenaran didalamnya wajib di yakini dan semua isi yang terkandung didalamnya wajib di amalkan, sekalipun diantara perawinya orang kafir.
2.      Ahli hadits mutaakhirin dan ahli Ushul berkomentar bahwa hadits dapat disebut dengan mutawatir jika memiliki syarat-syarat sebagaimana yang dijelaskan berikut ini:
Syarat-syarat Hadis Mutawatir
Menurut ulama mutaakhirin, ahli ushul, suatu hadis dapat ditetapkan sebagai Hadis Mutawatir, bila memenuhi syarat-syarat berikut:
1.      Diriwayatkan oleh Sejumlah Besar Perawi
Hadis Mutawatir harus diriwayatkan oleh sejumlah besar perawi yang membawa keyakinan bahwa mereka itu tidak mungkin bersepakat untuk berdusta. Ulama berbeda pendapat tentang jumlah minimal perawi. Al-Qadhi Al-Baqilani menetapkan bahwa jumlah perawi hadits mutawatir sekurang-kurangnya 5 orang, alasannya karena jumlah Nabi yang mendapat gelar Ulul Azmi sejumlah 5 orang. Al-Istikhari menetapkan minimal 10 orang, karena 10 itu merupakan awal bilangan banyak.[1] Demikian seterusnya sampai ada yang menetapkan jumlah perawi hadits mutawatir sebanyak 70 orang.[2]

2.      Adanya Keseimbangan Antar Perawi Pada Thabaqat pertama dengan Thabaqat berikutnya
Maksudnya jumlah perawi generasi pertama dan berikutnya harus seimbang, artinya jika pada generasi pertama berjumlah 20 orang, maka pada generasi berikutnya juga harus 20 orang atau lebih. akan tetapi jika generasi pertama berjumlah 20 orang, lalu pada generasi kedua 12 atau 10 orang, kemudian pada generasi berikutnya 5 atau kurang, maka tidak dapat dikatakan seimbang.
Sekalipun demikian, sebagian ulama berpendapat bahwa keseimbangan jumlah pada tiap-tiap generasi tidak menjadi persoalan penting yang sangat serius untuk diperhatikan, sebab tujuan utama adanya keseimbangan itu supaya dapat tehindar dari kemungkinan teejadinya kebohongan dalam menyampaika hadits.

3.      Berdasarkan Tangkapan Pancaindra
Berita yang disampaikan para perawi harus berdasarkan pancaindera. Artinya, harus benar-benar dari hasil pendengaran atau penglihatan sendiri. Oleh karena itu, apabila berita itu merupakan hasil renungan, pemikiran, atau rangkuman dari suatu peristiwa lain, atau hasil istinbath dari dalil yang lain, maka tidak dapat dikatakan hadits mutawatir.
                  Macam-macam Hadis Mutawatir
      Menurut sebagian ulama’, hadis mutawatir ini dibagi menjadi dua yaitu, mutawatir lafdzi dan mutawatir ma’nawi. Namun ada juga yang membaginya menjadi tiga, yaitu ditambah dengan hadis mutawatir ‘amali.
1.      Hadis Mutawatir Lafdzi
Yang dimaksud dengan hadis mutawattir lafdzi adalah:
ﻤﺎ ﺘﻭﺍﺘﺭﺕ ﺭﻭﺍﻴﺘﻪ ﻋﻟﻰ ﻠﻓﻅ ﻭﺍﺤﺩ
“Hadits mutawatir lafzhi ialah hadits yang kemutawatiran perawinya masih dalam satu lafal”
Jadi, hadits mutawatir Lafzhi, yaitu hadits yang diriwayatkan dengan lafaz dan makna yang sama, serta kandungan hukum yang sama.
Berat dan ketatnya kriteria hadis mutawattir lafdzi seperti diatas, menjadikan jumlah hadis ini sangat sedikit. Menurut Ibnu Hibban dan Al-Hazimi, bahwa hadis mutawattir dengan ta’rif in tiada diperoleh. Ibn Al-Shalah yang diikuti olehAl-Nawawi menetapkan, bahwa hadis mutawattir lafdzi sedikit sekali dan sukar dikemukakan contohnya selain hadis:
ﻤﻥ ﻜﺫﺏ ﻋﻟﻲ ﻤﺘﻌﻤﺩﺍ ﻔﻟﻴﺘﺒﻭﺃ ﻤﻘﻌﺩﻩ ﻤﻥ ﺍﻠﻨﺎﺭ
‘‘barangsiapa saja yang berbuat dusta terhadap diriku, maka tempat duduknya yang layak adalah Neraka’’
Dalam men-sikapi hadits ini, para ahli berbeda-beda dalam memberikan komentar, diantaranya ialah:
·         Abu Bakar al-Sairy menyatakan bahwa hadits ini diriwayatkan oleh 60 sahabat secara marfu’
·         Ibnu Shalah berpendapat bahwa hadits ini diriwayatkan oleh 62 sahabat, termasuk didalamnya adalah 10 sahabat yang dijamin masuk Surga.[3] Menurut mereka tidak diketahui hadis lain yang didalam perawinya terkumpul 10 sahabat yang diakui masuk surga, kecuali hadis ini.
·         Ibrahim al-Haraby dan Abu Bakar al-Bazariy berpendapat bahwa hadit ini diriwayatkan oleh 40 sahabat.
·         Abu Al-Qasim ibn Manduh berpendapat bahwa hadis ini diriwayatkan oleh lebih dari 80 orang.[4]ada juga yang menyatakan, diriwayatkan oleh 100 sahabat.

2.      Hadits Mutawatir Ma’nawi
ما تواتر معناه دون لفظه
Hadits Mutawatir Ma’nawi, yaitu hadits mutawatir yang berasal dari berbagai hadits yang diriwayatkan dengan lafadz yang berbeda-beda, tetapi jika disimpulkan, mempunyai makna yang sama tetapi lafadznya tidak. Contoh hadits yang meriwayatkan bahwa Nabi Muhammad SAW mengangkat tangannya ketika berdo’a.

قال ابو مسى مرفع رسول الله صلى عليه وسلم يديه حتى زوي  بياض ابطه في شئ من دعائة الا في الاستسقاء (رواه البخارى و مسلم)

“Abu Musa Al-Asy’ari berkata bahwa Nabi Muhammad SAW, tidak pernah mengangkat kedua tangannya dalam berdo’a hingga nampak putih kedua ketiaknya kecuali saat melakukan do’a dalam sholat istisqo’ “. (HR. Bukhori dan Muslim)
Hadis semacam ini diriwayatkan dari Nabi SAW. Berjumlah sekitar 100 hadis dengan redaksi yang berbeda-beda, tetapi mempunyai titik persamaan, yakni keadaan Nabi SAW mengangkat tangan saat berdo’a. Meskipun masing-masing (hadis) terkait dengan berbagai perkara (kasus) yang berbeda-beda. Masing-masing perkara tadi tidak bersifat mutawatir. Penetapan bahwa mengangkat kedua tangan ketika berdoa itu termasuk mutawatir karena pertimbangan digabungkannya berbagai jalur hadis tersebut.[5]

3.      Hadits Mutawatir ‘Amali
ما علم من الدين باالضرورة وتواتر بين المسلمين ان النبي صلى الله عليه وسلم فعله او امربه او غير ذلك وهو الذي ينطبق عليه تعريف الإجماع إنطباقا صحيحا
“Sesuatu yang diketahui dengan mudah, bahwa dia termasuk urusan agama dan telah mutawatir antara umat Islam, bahwa Nabi SAW mengerjakannya menyuruhnya, atau selain dari itu. Dan pengertian ini sesuai dengan ta’rif Ijma.”

Macam hadis mutawatir ‘amali ini banyak jumlahnya, seperti hadis yang menerangkan waktu shalat, raka’at shalat, shalat jenazah, shalat ‘id, tata cara shalat, pelaksanaan haji, kadar zakat harta, dan lain-lain.


Hadis Ahad
Ahad adalah bahasa arab yang berasal dari kata dasar ahad (ﺍﺤﺩ) , artinya satu (ﻭﺍﺤﺩ ,atau wahid ), Jadi khabar wahid adalah: ﻫﻭ ﻤﺎ ﻴﺭﻭﻴﻪ ﺸﺨﺹ ﻭﺍﺤﺩ / suatu habar yang diriwayatkan oleh orang satu. sedang menurut istilah hadits ahad ialah hadits yang tidak memenuhi syarat-syarat hadits mutawatir.
Atau berarti:
ﺍﻠﺤﻴﺙ ﺍﻷﺤﺎﺩﻯ ﻫﻭ ﻤﺎ ﻻ ﻴﻨﺘﻬﻰ ﺍﻠﻰ ﺍﻟﺘﻭﺍﺘﺭ                        
“Hadits yang tidak mencapai tingkatan hadits mutawatir.”
Hadits ahad terbagi menjadi 3 macam, yaitu : Masyhur, ‘Aziz, dan Gharib:

1.      Hadis masyhur
Menurut bahasa, masyhur berarti “sesuatu yang sudah tersebar dan popular”. Sedangkan definisi menurut ulama’ ushul:
ما رواه من الصحابه عدد لا يبلغ حد ثواتر بعد الصحابة ومن بعدهم

“Hadits yang diriwayatkan dari sahabat tetapi bilangannya tidak sampai pada tingkatan mutawatir, kemudian baru mutawatir setelah sahabat dan orang yang setelah mereka”.

Hadis ini dinamakan masyhur karena telah tersebar luas dikalangan masyarakat. Ada ulama yang memasukkan hadis masyhur  segala hadis yang popular dalam masyarakat, sekalipun tidak mempunyai sanad sama sekali, baik berstatus shahis atau dha’if”.[6]
Ulama hanafiyah mengatakan bahwa hadis masyhur menghasilkan ketenangan hati, dekat dengan keyakinan dan wajib diamalkan, akan tetapi bagi yang menolaknya tidak dikatakan kafir.
Hadis masyhur ada yang berstatus shahih, hasan dan dhaif. Hadits masyhur yang berstatus shahih adalah yang memenuhi syarat-syarat hadits shahih baik sanad maupun matannya. Sedangkan hadits masyhur yang berstatus hasan adalah hadits yang memenuhi ketentuan-ketentuan hadits hasan, baik mengenai sanad maupun matannya. Adapun hadits masyhur yang berstatus dhaif adalah hadits yang tidak memenuhi syarat-syarat hadits shahih dan hasan, baik pada sanad maupun pada matannya
Hadis masyhur dapat digolongkan kepada:
1)      Masyhur dikalangan ahli hadits, seperti hadits yang menerangkan bahwa Rasulullah SAW membaca do’a qunut sesudah rukuk selama satu bulan penuh berdo’a atas golongan Ri’il dan Zakwan.
Hadis ini diriwayatkan Imam Bukhari dan Imam Muslim dari riwayat Sulaiman Al-Taimi dari AbibMijlas dari Anas. Hadis ini juga diriwayatkan dari Anas selain Sulaiman, serta dari Sulaiman oleh segolongan perawi lain.
2)      Masyhur dikalangan ulama ahli hadits, ulama-ulama dalam bidang keilmuan lain, dan juga dikalangan orang awam, seperti :
المسلم من سلم المسلمون من لسانه ويدة

“Orang Islam (yang sempurna) itu adalah: orang-orang islam selamat dari lidah dan tangannya”. (HR. Bukhari-Muslim)
3)      Masyhur dikalangan ahli Fiqh, seperti:
نهي رسول الله عليه وسلم عن بيع العرر

“Raulullah SAW melarang jual beli yang didalamnya terdapat tipu daya”.
4)      Masyhur dikalangan ahli ushul Fiqh, seperti:
اذا حكم الحاكم ثم اجتهد فا صاب فله اجران واذا حكم فاجتهد ثم احطا فله اجر

“Apabila seorang hakim memutuskan suatu perkara kemudian dia berijtihad dan kemudian ijtihadnya benar, maka dia memperoleh dua pahala (pahala Ijtihad dan pahala kebenaran), dan apabila ijtihadnya itu salah, maka dia memperoleh satu pahala (pahala Ijtihad).”
5)      Masyhur dikalangan ahli Sufi, seperti:
كنت كنزا مخفيا فاحببت ا ن اعرف فخلقت الخلق قبي عر فوني

“Aku pada mulanya adalah harta yang tersembunyi, kemudian aku ingin dikenal, maka kuciptakan makhluk dan melalui merekapun mengenal-Ku”.
6)      Masyhur dikalangan ulama Arab, seperti ungkapan, “Kami orang-orang Arab yag paling fasih mengucapkan “(dha)” sebab kami dari golongan Quraisy”.

Adapun hadis Ghairu masyhur digolongkan menjadi dua oleh ahli ulama hadis, yaitu ‘Aziz dan ghairu ‘Aziz.
2.      Hadis ‘Aziz
Aziz menurut bahasa berasal dari kata azza-yaizu, artinya “sedikit atau jarang”. Menurut istilah hadits Aziz adalah “hadits yang perawinya tidak kurang dari dua orang dalam semua tingkatan sanad.”
Kiranya dapat disimpulkan bahwa suatu hadis dikatakan ‘Aziz bukan saja yang diriwayatkan oleh dua orang perawi pada tiap thabaqatnya, yakni sejak dari thabaqat pertama sampai yang terakhir, tetapi selagi salah satu thobaqat didapati dua orang perawi, tetap dikatakan sebagai hadis ‘Aziz. Contoh hadits ‘aziz:
لايؤمن احدكم حتي اكون احب اليه من والده وولده والناس اجمعين

“Tidak beriman seorang di antara kamu, sehingga aku lebih dicintainya dari pada dirinya, orang tuanya, anaknya, dan semua manusia”. (H.R. Bukhari dan Muslim)
Hadis ‘Aziz yang shahih, hasan dan dha’if tergantung kepada terpenuhi atau tidaknya ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan hadis shahih, hasan dan dha’if.

1.      Hadis Ghairu ‘Aziz
Adapun hadits Gharib, menurut bahasa berarti “al-munfarid” (menyendiri). Dalam tradisi ilmu hadits, ia adalah “hadits yang diriwayatkan oleh seorang perawi yang menyendiri dalam meriwayatkannya, baik yang menyendiri itu imamnya maupun selainnya”.
Penyendirian perawi dalam meriwayatkan hadits itu bias berkaitan dengan personalitasnya, yakni tidak ada yang meriwayatkannya selain perawi tersebut, atau mengenai sifat atau keadaan perawi itu sendiri. Maksudnya sifat dan keadaan perawi itu berbeda dengan sifat dan kualitas perawi-perawi lain, yang juga meriwayatkan hadits itu. Disamping itu, penyendirian seorang perawi bias terjadi pada awal, tengah atau akhir sanad.
إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى

“Sesungguhnya amal-amal itu tergantung niatnya dan sesungguhnya masing-masing manusia itu akan mendapatkan balasan sesuai dengan niatnya.”
Hadits ini diriwayatakan hanya oleh Umar bin Khatab saja. Sedangkan yang meriwayatkan dari Umar hanya saja. Yang meriwaytakan dari AlQomah hanya Muhamad bin Ibrahim at-Taimi. Yang meriwayatakn dari Muhammad hanya. Yahya bin Sa’id Al Anshori.[7]
Sebagian ulama’ lain menyebut hadits ini sebagai Al-Fard. Hadits gharib dibagi menjadi dua :
·         Gharib Muthlaq, disebut juga: Al-Fardul-Muthlaq; yaitu bilamana kesendirian (gharabah) periwayatan terdapat pada asal sanad (shahabat). Misalnya hadits Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam: ”Bahwa setiap perbuatan itu bergantung pada niatnya” [HR. Al-Bukhari dan Muslim].
Hadits ini diriwayatkan sendiri oleh Umar bin Al-Khaththab, lalu darinya hadits ini diriwayatkan oleh ‘Alqamah. Muhammad bin Ibrahim lalu meriwayatkannya dari ‘Alqamah. Kemudian Yahya bin Sa’id meriwayatkan dari Muhammad bin Ibrahim. Kemudian setelah itu, ia diriwayatkan oleh banyak perawi melalui Yahya bin Sa’id.  Dalam gharib muthlaq ini yang menjadi pegangan adalah apabila seorang shahabat hanya sendiri meriwayatkan sebuah hadits.
·         Gharib Nisbi, disebut juga : Al-Fardun-Nisbi; yaitu apabila ke-gharib-an terjadi pada pertengahan sanadnya, bukan pada asal sanadnya. Maksudnya satu hadits yang diriwayatkan oleh lebih dari satu orang perawi pada asal sanadnya, kemudian dari semua perawi itu hadits ini diriwayatkan oleh satu orang perawi saja yang mengambil dari para perawi tersebut. Misalnya : Hadits Malik, dari Az-Zuhri (Ibnu Syihab), dari Anas radliyallaahu ‘anhu : ”Bahwa Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam masuk kota Makkah dengan mengenakan penutup kepala di atas kepalanya” [HR. Al-Bukhari dan Muslim].  Hadits ini hanya diriwayatkan oleh Malik dari Az-Zuhri. Dinamakan dengan gharib nisbi karena kesendirian periwayatan hanya terjadi pada perawi tertentu.




[1] Munzier Supatra. Ilmu Hadis. Jakarta. PT. RajaGrafindo Persada. 2011. hlm 98
[2] Ibid. Hlm 99
[3][3] Yang dimaksud 10 sahabat adalah: Abu Bakar As-Shiddiq, Umar bin Khattab, Usman bin Auf, Sa’id bin Malik, Sa’id bin Zaid, dan Ubaidah ibn Jarrah
[4] Muhammad Jamal Al-Din Al-Qasimi, Qawaid Al-Tahdits min Funun Musthalah Al-Hadis,(Beirut: Dar Al-Kutub Al-‘Ilmiyah, 1979)hlm 172-173.
[5] DR. Mahmud Thahan. Ilmu Hadits Praktis (terjemah Abu Fuad). Bogor: Pustaka Thanqul Izzah, 2006, h.21-22.
[6] Munzier Supatra. Op.cit. hlm 111
[7] Nuzhatun-Nadhar oleh Ibnu Hajar hal. 28 dan Taisir Musthalah Al-Hadits oleh Mahmud Ath-Thahhan hal. 28.

Thursday, 27 November 2014

Today Is Your’s (Munzila Kamalia)

Posted by Unknown at 06:45 0 comments


               
 Happy birthday dear,,!! Doa kami yang terbauk buat kamu selalu 








 

Catatanku Template by Ipietoon Cute Blog Design