Pages

Pages

Tuesday 30 September 2014

KLASIFIKASI HADIS (KELOMPOK 4)



BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Hadits sebagai sumber hukum kedua dalam Islam ternyata mempunyai sejarah dan terklasifikasikan.  Pengklasifikasian hadits berdasarkan beberapa kriteria yakni klasifikasi hadis  berdasarkan kuantitas dan berdasarkan kualitas.
Sebagian ulama berbeda pendapat tentang pembagian hadis yang ditinjau dari segi kuantitasnya ini.  Maksud tinjauan dari segi kuantitas disini adalah dengan menelusi jumlah para perawi yang menjadi sumber adanya suatu hadis. Para ahli yang ada mengelompokkan menjadi tiga bagian, yakni hadis mutawatir, masyhur dan ahad. Dan ada juga yang membaginya hanya dua,  yakni hadis mutawatir dan ahad. Begitupun tentang pembagian hadis dari segi kualitasnya tidak lepas dari pembahasan mengenai pembagian mengenai hadis dari segi kuantitasnya, yakni dibagi menjadi hadis mutawatir dan ahad.

1.2 Rumusan Masalah
a.       Bagaimana pengelompokan hadis berdasarkan kuantitasnya?
b.      Bagaimana pengelompokan hadis berdasarkan kualitasnya?
c.       Bagaimana penjelasan tentang hadits mutawatir dan ahad?
d.      Bagaimana penjelasan tentang hadits shahih, hasan dan dha’if?

1.3  Tujuan
a.        Untuk mengetahui pengelompokan hadits berdasarkan kuantitasnya.
b.      Untuk mengetahui pengelompokan hadits berdasarkan kualitasnya.
c.       Untuk mengetahui penjelasan tentang hadits shahih.
d.      Untuk mengetahui penjelasan tentang hadits hasan.
e.       Untuk mengetahui penjelasan tentang hadits dha’if.


BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Hadis Ditinjau dari Segi Kuantitasnya
Terdapat perbedaan pendapat antar ulama’ tentang hadis masyhur yang berdiri sendiri, tidak termasuk bagian dari hadis ahad. Sedangkan ulama sebagian lainnya yang dimana diikuti oleh kebanyakan ulama’ ushul dan ulama’ kalam. Menurut mereka, hadis masyhur bukan merupakan hadis yang berdiri sendiri, melainkan bagian dari hadis ahad. Mereka membagi hadis menjadi dua bagian, mutawatir dan ahad.[1]
2.1.1 Hadis Mutawatir
Secara etimologi, kata mutawatir berarti: Mutatabi’ (beriringan tanpa jarak). Dalam terminologi ilmu hadits, ia merupakan hadits yang diriwayatkan oleh orang banyak, dan berdasarkan logika atau kebiasaan, mustahil mereka akan sepakat untuk berdusta. Periwayatan seperti itu terus menerus berlangsung, semenjak thabaqat yang pertama sampai thabaqat yang terakhir.
Ulama mutaqaddimin berbeda pendapat dengan ulama muta’akhirin tentang syarat-syarat hadits mutawatir. Ulama mutaqaddimin berpendapat bahwa hadits mutawatir tidak termasuk dalam pembahasan ilmu isnad al-hadits, karena ilmu ini membicarakan tentang shahih tidaknya suatu khabar, diamalkan atau tidak, adil atau tidak perawinya. Sementara dalam hadits mutawatir masalah tersebut tidak dibicarakan. Jika sudah jelas statusnya sebagai hadits mutawatir, maka wajib diyakini dan diamalkan.[2]
                  Syarat-syarat Hadis Mutawatir
Menurut ulama mutaakhirin, ahli ushul, suatu hadis dapat ditetapkan sebagai Hadis Mutawatir, bila memenuhi syarat-syarat berikut:
1.      Diriwayatkan oleh Sejumlah Besar Perawi
Hadis Mutawatir harus diriwayatkan oleh sejumlah besar perawi yang membawa keyakinan bahwa mereka itu tidak mungkin bersepakat untuk berdusta. Ulama berbeda pendapat tentang jumlah minimal perawi. Al-Qadhi Al-Baqilani menetapkan bahwa jumlah perawi hadits mutawatir sekurang-kurangnya 5 orang, alasannya karena jumlah Nabi yang mendapat gelar Ulul Azmi sejumlah 5 orang. Al-Istikhari menetapkan minimal 10 orang, karena 10 itu merupakan awal bilangan banyak.[3] Demikian seterusnya sampai ada yang menetapkan jumlah perawi hadits mutawatir sebanyak 70 orang.[4]

2.      Adanya Keseimbangan Antar Perawi Pada Thabaqat pertama dengan Thabaqat berikutnya
Keseimbangan jumlah perawi pada setiap thabaqat merupakan salah satu persyaratan.

3.      Berdasarkan Tangkapan Pancaindra
Berita yang disampaikan para perawi harus berdasarkan pancaindera. Artinya, harus benar-benar dari hasil pendengaran atau penglihatan sendiri. Oleh karena itu, apabila berita itu merupakan hasil renungan, pemikiran, atau rangkuman dari suatu peristiwa lain, atau hasil istinbath dari dalil yang lain, maka tidak dapat dikatakan hadits mutawatir.
                  Macam-macam Hadis Mutawatir
      Menurut sebagian ulama’, hadis mutawatir ini dibagi menjadi dua yaitu, mutawatir lafdzi dan mutawatir ma’nawi. Namun ada juga yang membaginya menjadi tiga, yaitu ditambah dengan hadis mutawatir ‘amali.
1.      Hadis Mutawatir Lafdzi
Hadits mutawatir Lafzhi, yaitu hadits yang diriwayatkan dengan lafaz dan makna yang sama, serta kandungan hukum yang sama, contoh:

قالرسولالله عليه وسلم من كذب علي فليتبوا مقعده من النار

Rasulullah SAW bersabda, “Barang siapa yang  ini sengaja berdusta atas namaku, maka hendaklah dia siap-siap menduduki tempatnya di atas api neraka”.
Menurut Al-Bazzar, hadits ini diriwayatkan oleh 40 orang sahabat. Al-Nawawi menyatakan bahwa hadits ini diriwayatkan oleh 200 orang sahabat.


2.      Hadits Mutawatir Ma’nawi
Hadits Mutawatir Ma’nawi, yaitu hadits mutawatir yang berasal dari berbagai hadits yang diriwayatkan dengan lafadz yang berbeda-beda, tetapi jika disimpulkan, mempunyai makna yang sama tetapi lafadznya tidak. Contoh hadits yang meriwayatkan bahwa Nabi Muhammad SAW mengangkat tangannya ketika berdo’a.

قال ابو مسى مرفع رسول الله صلى عليه وسلم يديه حتى زوي  بياض ابطه في شئ من دعائة الا في الاستسقاء (رواه البخارى و مسلم)

“Abu Musa Al-Asy’ari berkata bahwa Nabi Muhammad SAW, tidak pernah mengangkat kedua tangannya dalam berdo’a hingga nampak putih kedua ketiaknya kecuali saat melakukan do’a dalam sholat istisqo’ “. (HR. Bukhori dan Muslim)

3.      Hadits Mutawatir ‘Amali
Hadits Mutawatir ‘Amali, yakni amalan agama (ibadah) yang dikerjakan oleh Nabi Muhammad SAW, kemudian diikuti oleh para sahabat, kemudian diikuti lagi oleh Tabi’in, dan seterusnya, diikuti oleh generasi sampai sekarang. Contoh, hadits-hadits nabi tentang shalat dan jumlah rakaatnya, shalat id, shalat jenazah dan sebagainya. Segala amal ibadah yang sudah menjadi ijma’ di kalangan ulama dikategorikan sebagai hadits mutawatir ‘amali.

Kitab-kitab yang secara khusus memuat hadits-hadits mutawatir adalah sebagai berikut :
1)      Al-Azhar Al-Mutanatsirah fi Al-Mutawatirah, yang dsusun oleh Imam Suyuthi. Muhammad ‘Ajaj Al-Khatib, kitab ini memuat 1513 hadits.
2)      Nazhm Al-Mutanatsirah min Al- Hadits al Mutawatir yang disusun oleh Muhammad bin Ja’far Al-Kattani (w. 1345 H)[5]

2.1.2 Hadis Ahad
Ulama ahli secara garis besarnya membagi hadis Ahad menjadi dua, yaitu hadis masyhur dan ghairu masyhur. Dan hadis ghairu masyhur dibagi lagi menjadi dua, yaitu ’aziz dan ghairu aziz.

1.      Hadis masyhur
Menurut bahasa, masyhur berarti “sesuatu yang sudah tersebar dan popular”. Sedangkan definisi menurut ulama’ ushul:
ما رواه من الصحابه عدد لا يبلغ حد ثواتر بعد الصحابة ومن بعدهم

“Hadits yang diriwayatkan dari sahabat tetapi bilangannya tidak sampai pada tingkatan mutawatir, kemudian baru mutawatir setelah sahabat dan orang yang setelah mereka”.

Hadis ini dinamakan masyhur karena telah tersebar luas dikalangan masyarakat. Ada ulama yang memasukkan hadis masyhur  segala hadis yang popular dalam masyarakat, sekalipun tidak mempunyai sanad sama sekali, baik berstatus shahis atau dha’if”.[6]
Hadis masyhur ada yang berstatus shahih, hasan dan dhaif. Hadits masyhur yang berstatus shahih adalah yang memenuhi syarat-syarat hadits shahih baik sanad maupun matannya. Sedangkan hadits masyhur yang berstatus hasan adalah hadits yang memenuhi ketentuan-ketentuan hadits hasan, baik mengenai sanad maupun matannya. Adapun hadits masyhur yang dhaif adalah hadits yang tidak memenuhi syarat-syarat hadits shahih dan hasan, baik pada sanad maupun pada matannya
Hadis masyhur dapat digolongkan kepada:
1)      Masyhur dikalangan ahli hadits, seperti hadits yang menerangkan bahwa Rasulullah SAW membaca do’a qunut sesudah rukuk selama satu bulan penuh berdo’a atas golongan Ri’il dan Zakwan. (H.R. Bukhari, Muslim, dll).
2)      Masyhur dikalangan ulama ahli hadits, ulama-ulama dalam bidang keilmuan lain, dan juga dikalangan orang awam, seperti :
المسلم من سلم المسلمون من لسانه ويدة

“Orang Islam (yang sempurna) itu adalah: orang-orang islam selamat dari lidah dan tangannya”. (HR. Bukhari-Muslim)
3)      Masyhur dikalangan ahli Fiqh, seperti:
نهي رسول الله عليه وسلم عن بيع العرر

“Raulullah SAW melarang jual beli yang didalamnya terdapat tipu daya”.
4)      Masyhur dikalangan ahli ushul Fiqh, seperti:
اذا حكم الحاكم ثم اجتهد فا صاب فله اجران واذا حكم فاجتهد ثم احطا فله اجر

“Apabila seorang hakim memutuskan suatu perkara kemudian dia berijtihad dan kemudian ijtihadnya benar, maka dia memperoleh dua pahala (pahala Ijtihad dan pahala kebenaran), dan apabila ijtihadnya itu salah, maka dia memperoleh satu pahala (pahala Ijtihad).”
5)      Masyhur dikalangan ahli Sufi, seperti:
كنت كنزا مخفيا فاحببت ا ن اعرف فخلقت الخلق قبي عر فوني

“Aku pada mulanya adalah harta yang tersembunyi, kemudian aku ingin dikenal, maka kuciptakan makhluk dan melalui merekapun mengenal-Ku”.
6)      Masyhur dikalangan ulama Arab, seperti ungkapan, “Kami orang-orang Arab yag paling fasih mengucapkan “(dha)” sebab kami dari golongan Quraisy”.
2.      Hadis Ghairu Masyhur
Hadis Ghairu masyhur ini digolongkan menjadi dua oleh ahli ulama hadis, yaitu ‘Aziz dan ghairu ‘Aziz.
1.      Hadis ‘Aziz
Aziz menurut bahasa berasal dari kata azza-yaizu, artinya “sedikit atau jarang”. Menurut istilah hadits Aziz adalah hadits yang perawinya tidak kurang dari dua orang dalam semua tingkatan sanad.”
Dari pengertian diatas dapat dikatakan bahwa suatu hadits dapat dikatakan hadits Aziz bukan hanya yang diriwayatkan dua orang pada setiap tingkatnya, tetapi selagi ada tingkatan yang diriwayatkan oleh dua rawi, contoh hadits ‘aziz:
لايؤمن احدكم حتي اكون احب اليه من والده وولده والناس اجمعين

“Tidak beriman seorang di antara kamu, sehingga aku lebih dicintainya dari pada dirinya, orang tuanya, anaknya, dan semua manusia”. (H.R. Bukhari dan Muslim)
2.      Hadis Ghairu ‘Aziz
Adapun hadits Gharib, menurut bahasa berarti “al-munfarid” (menyendiri). Dalam tradisi ilmu hadits, ia adalah “hadits yang diriwayatkan oleh seorang perawi yang menyendiri dalam meriwayatkannya, baik yang menyendiri itu imamnya maupun selainnya”.
Penyendirian perawi dalam meriwayatkan hadits itu bias berkaitan dengan personalitasnya, yakni tidak ada yang meriwayatkannya selain perawi tersebut, atau mengenai sifat atau keadaan perawi itu sendiri. Maksudnya sifat dan keadaan perawi itu berbeda dengan sifat dan kualitas perawi-perawi lain, yang juga meriwayatkan hadits itu. Disamping itu, penyendirian seorang perawi bias terjadi pada awal, tengah atau akhir sanad.
2.2 Hadis Ditinjau dari Segi Kualitasnya
2.2.1 Hadis Shahih
Shahih menurut lughat adalah lawan dari “saqim” , artinya sehat lawan sakit, haq lawan bathil[7] menurut ahli hadist, hadist shahih adalah hadist yang sanandnya bersambung, dikutip oleh orang yang adil lagi cermat dari orang yang sama, sampai berakhir pada Rasulullah SAW. Beberapa para ahli memberikan definisi antara lain sebagai berikut :
§  Menurut Ibn al-Shalah hadist shahih adalah “hadist yang sanandnya bersambung (muttashil) melalui periwayatan orang yang adil dan dhabit dari orang yang adil dan dhabit, sampai akhir sanadtidak ada kejanggalan dan tidak ber’illat”.[8]
§  Menurut Imam Al-Nawawi, hadist shahih adalah “hadist yang bersambung sanadnya, diriwayatkan oleh perawi yang adil lagi dhabit, tidak syaz, dan tidak ber-‘illat”.[9]
ما نقله عدل تام الضبط متصل السنذ غير معلل ولا شاذ
Hadist yang dinukil (diriwayatkan) oleh rawi – rawi yang adil, sempurna ingatannya, anadnya bersambung – sambung, tidak ber’illat, dan tidak janggal”. [10]
Dari defeisi diatas dapat diambil kesimpulan bahwa hadist shahi mempunyai beberapa syarat yaitu :
3.      Sanad-nya bersambung
4.      Perawinya bersifat adil
5.      Perawinya bersifat dhabit
6.      Matannya tidak syaz
7.      Matannya tidak mengandung iillat
§  Sanadnya bersambung
Maksud dari sandanya bersambung adalah bahwa tiap – tiap perawi dalam sanad hadist menerima riwayat hadist dari periwayat terdekat sebelum-nya, keadaan itu bersambung demikian sampai akhir sanad dari hadist itu. Dengan demikian jelas bahwa Hadist mursal, munqati’, mu’dhal, dan muallaq, tidak tergolong hadist shahih.[11]
§  Perawinya bersifat adil
Menurut bahasa adil berarti lurus, tidak berat sebelah, tidak dzalim, dan tidak menyimpang, tulus dan jujur, baik tingkah lakunya.[12]  Jadi yang dimaksud dengan perawi yang adil dalam periwayatan hadist adalah semua perawinya, islam dan baligh, dan juga memenuhi syarat sebagai berikut:
a.       Senantiasa melaksanakan semua perintah agam dan meninggalkan semua larangannya;
b.      Senantiasa menjauhui perbuatan dosa kecil
c.       Senantiasa memelihara ucapan dan perbuatan yang dapat menodai muru’ah.

§  Perawinya bersifat Dhabit
Menurut bahasa Dhabit artinya “yang kokoh, yang kuat, yang sempurna hafalannya”.[13] Menurut Ibnu hajar al-‘Asqalani, perawi yang dhabit adalah yang kuat hafaalanya terhadap apa yang pernah didengar, kemudian mampu menyampaikan hafalan tersebut kapan dan dimana saja diperlukan.

Ada dua kategori pengertian dhabit dalam periwayatan hadist yaitu dhabith fi- al-sadhr dan dhabit fi l-kitab. dhabith fi-alsadhr adalah terpeliharanya periayataan dalam ingatan sejenak menerima hadist sampai meriwayatkannya kepada orang lain. Sedangkan dhabit fi al-kitab  adalah terpeliharanya kebenaran suatu periwayatan melalui tulisan.

§  Tidak Syadz
Syadz adalah suatu hadist yang bertentangan dengan hadist yang diriwayatkan oleh perawi lain yang lebih kuat atau lebih tsiqoh. Dengan demikian dapat dipahami bahwa hadist yang tidak syadz adalah hadist yang matan-nya tidak bertentangan dengan hadist lain yang lebih kuat dan tsiqah.

§  Tidak ber-‘illat.
‘Illat berarti cacat, penyakit, keburukan dan kesalahan dalam membaca. Maka hadist yang ber’illat adalah hadist yang ada cacat atau penyakitnya. Menurut istilah ‘illat berarti suatu yang samar-samar atau tersembunyi, yang karenanya dapat merusak keshahihan hadist tersebut. Dikatakan samar-samar karena jika dilihat dari segi lahiriyah, hadist tersebut terlihat shahih. Adanya kesamaran tersebut mengakibatkan nilai kualitasnya menjadi tidak shahih. Jadi dapat disimpulkan bahwa hadist yang tidak ber’illat adalah hadist yang tidak terdapat kesamaran atau keraguan.


A.    Klasifikasi Hadist
Dalam hadist shahih terbagi menjadi dua, yaitu :
1.      Shahih li dzatih
Hadist shahih yang memenuhi syarat – syaratnya secara maksimal
2.      Shahih li ghairi
Hadist shahih yang tidak memenuhi syarat-syaratnya secara maksimal. Seperti rawinya yang adil tidak sempurna kedhabitannya.

B.     Martabat Hadit Shahih
Hadist yang paling tinggi derajatnya adalah hadist yang bersanad ashalul asanid, kemudian berturut-turut sebagai:
1.      Hadist yang disepakati oleh Bukhori Muslim
2.      Hadist yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori sendiri.
3.      Hadist yang diriwayatkan oleh Imam Muslim sendiri
4.      Hadist yang diriwayatkan menurut syarat-syarat Bukhari-Muslim
5.      Hadist shahih menurut syarat Bukhari, sedangkan Imam Bukhari sendiri tidak men-takhrij-nya.
6.      Hadist shahih menurut syarat Muslim, sedangkan Imam Muslim sendiri tidak men-takhrij-nya.
7.      Hadist yang tidak menurut salah satu syarat dari kedua imam Bukhari dan Imam Muslim

C.    Karya-Karya yang Hanya Memuat Hadist Shahih
Diantara karya-karya yang hanya memuat hadist shahih adalah:
1. Shahih Bukhari
2. Shahih Muslim
3. Mustadrak Al-Hakim
4. Shahih Ibn Hibban
5. Shahih Ibnu Khuzaimah
2.2.2 Hadis Hasan
Menurut lughat adalah sifat musyabahah dari ‘Al-Husna’, menurut artinya bagus. Menurut Ibnu Hajar, hadist hasan adalah
خبر الاحاد بنقل عدل تام الظبط متصل السند غير معلل ولا شاذ
“Khabar ahad yang dinukil oleh orang yang adil, kurang sempurna hapalanya, bersambung sanadnya, tidak cacat dan tidak syadz”.[14]
Untuk membedakan antara hadist shahih dan hadist hasan. Harus mengetahui batasan dari kedua hadit tersebut. Batasan dari kedua hadist tersebut adalah keadilan pada hadist hasan disandang oleh orang ang tidak begitu kuat ingatannya, sedangkan pada hadist shaahih terdapat rawi-rawi yang benar- benar kuat ingatannya. Akan tetapi, keduanya bebas dari keganjilan dan penyakit.

A. Klasifikasi Hadist Hasan
                  Hadist hasan terbagi menjadi dua, yaitu:
1. Hasan Li Dzatih
      Adalah hadist yang memenuhi segala syarat-syarat hadist hasan. Syarat untuk hadist hasan sebagaimana syarat untuk hadist shahih, kecuali bahwa para rawinya hanya termasuk kelompok keempat (shaduq) aatau istilah lain yang setaraf atau sama dengan tingkatan tersebut.[15]

2. Hasan Li Ghairih
      Adalah hadist dhaif ayng bukan dikarenakan rawinya pelupa, banyak salah dan orang fasik, yag mempunyai mutabi’ dan syahid. Hadist dhaif yng karena rawinya buruk dalam penghafalan (su’u al-hafidz), tidak dikenal identitasnya (mastur) dan mudallis (menyembunyikan cacat) dapat naik derajatnya menjadi hasan li gharih karena dibantu oleh hadist-hadist lain yang semisal dan semakna atau karena banyak rawi yang meriwayatkan.

B. Kedudukan Hadist Shahih dan Hasan dalam Berhujjah
      Kebanyakan ulama’ ahli hadist dan fuqhaha bersepakat untuk menggunakan hadist shahih dan hadist hasan sebagai hujjah. Disamping itu, ada ulamaa’ yang mensyaratkan bahwa hadist hasan dapat digunakan sebagai hujjah, bilamana memenuhi sifat-sifat yang dapat diterima. Pendapat terakhir ini memerlukan peninjauan yan seksama. Sebab, sifat-sifat yang dapat diterima itu ada yang tinggi, mencegah, dan rendah. Hadist yang sifat diterima tinggi dan menengah adalah hadist shahih, sedangkan hadist yang sifat dapat diterima rendah adalah hadist hasan.

C. Kitab-Kitab yang Mengandung Hadist Hasan
      Para ulama’ belum menyusun kitab khusus tentang hadist-hadist hasan secara terpisah sebagaimana melakukan dalam hadis shahih, tetapi hadist hasan banyak kita dapatkan sebagian kitab, diantaranya:
·         Fami’ At-Tirmidzi, dikenal sebagai Sunan At-Tirmidzi, merupakaan sumber untuk mengetahui hadist hasan.
·         Sunan Abu Dawud
·         Sunan Ad-Daruquthi.
2.2.3 Hadist Dhaif
Dahif  menurut lughaat adalah lemah, lawan dari qawi (yang kuat).[16]
Adapun menurut Muhaditsin,
هو كل حديث لم تجتمع فيه صفات القبول وقال اكثر العلماء هو مالم يجمع صفة الصحيج والحسن

“Hadist dhaif adalah semua hadist yang tidak terkumpul padanya sifat – sifat bagi hadist yang diterima dan menurut pendapat kebanyakan ulama’; hadist dhaif adalah yang teidak terkumpul padanya  sifat hadist shaih dan hasan”.[17]

A. Klasifikasi Hadist Dhaif
      Para ulama’ muhaditsin mengemukakan sebab-sebab tertolaknya hadist dari dua jurusan, yakni dari jurusan sanad dan jurusan matan.
      Sebab – sebab tertolaknya hadist dari jurusan sanad adalah:
2.      Terwujudnya cacat-cacat pada rawinya, baik tentang keadilan maupun ke-dhabit-annya.
3.      Ketidak bersambungannya sanad, dikarenakaan adalah seorang rawi atau lebih, yang digugurkaan atau saling tidak bertemu satu sama lain.
Adapun cacat pada keadilan dan k-dhabit-an rawi itu ada sepuluh macam, yaitu sebagai berikut.
1.      Dusta
2.      Tertuduh dusta
3.      Fasik
4.      Banyak salah
5.      Lengah dalam menghafal
6.      Menyalahi riwayat orang kepercayaan
7.      Banyak waham (purbasangka)
8.      Tidak diketahui identitasnya
9.      Penganut bid’ah
10.  Tidak baik hafalannya

B. Klasifikasi Hadist Dhaif Berdasarkan Cacat pada Keadilan dan Ke-dhabit-an Rawi
a.      Hadist Maudhu’
هوالمختلع المصنوع المنسوب الى رسول الله صلى الله عليه وسلم زورا وبهتانا سواء كان ذاللك عمدا ام خطاء
“Hadist yang dicipta serta dibuat oleh seseorang (pendusta), yang ciptaan itu dinisbatkan kepada Rasulullah SAW. Secara palsu dan dusta, baik disengaaja maupun tidak”. [18]
Ciri – ciri hadist maudhu’ dapat dilihat pada sanad dan matan hadist.
1.      Pada Sanad
Adanya pengakuan dari pembuat sendiri, qarinah-qarinah yang memperkuat adanya pengakuan membuat hadist maughu’, dan qarinah-qarinah yang berpautan dengan tingkah lakunya.
2.      Paada Matan
Terdapat dua segi, yaitu ma’na dan lafadz, dari segi ma’na yaitu bahwa hadist itu bertentangan dengan Al-Qur’an, hadist mutawttir, ijma’, dan logika yang sehat. Dari segi lafadz yaitu bila susunan kalimatnya tidak baik dan tidak fasih.
     
b.      Hadist Matruk
Rawi yang tertuduh dusta adalah seorang rawi yang terkenal dalam pembicaraan sebagai pendusta, tetapi belum dapat dibuktikan bahwa sudah pernah berdusta dalam membuat hadist. Seorang perawi yang tertuduh dusta, bila bertobat dengan sungguh – sungguh, dan dapat diterima periwayatan hadist tersebut.

c.       Hadist Munkar
Hadist munkar adalah hadist yang ada sanadnya terdapat rawi yang jelek kesalahannya, banyak kelengahan atau tampak klasifikasi.[19]

d.      Hadist Syadzdz
Hadist Syadzdz adalah hadist yang ddiriwayatkan oleh seorang rawi yang maqbul. Yang menyalahi riwayat orang yang lebih utama darinya, baik karena jumlah lebih banyak ataupun lebih tinggi daya hafalannya.

C. Klasifikasi Hadist Berdasarkan Gugurnya Rawi
a.      Hadist Mu’allaq
Menurut bahasa, adlah isim maf’ul yang berarti terikat dan tergantung. Sanad seperti disebut mu’allaq katenaa hanya terikat dan tersambung pada bagian atas. Sementara bagian bawah terputus. Menurut istilah hadist mu’allaq adalah hadist yang seorang rawinya atau lebih gugur dari awal sanad secara berurutan.
b.      Hadist Mu’dhal
Mu’dhala secara bahasa adalah sesuatu yang dibuat lemah dan lebih karena para ulama’hadist dibuat lelah dan letih untuk mengetahui karena beratnya ketidakjelasan dalam hadist tersebut. Menurut istilah (Muhaditsin) hadist mu’dhal adalah hadist yang putus sanadnya dua orang atau lebih secara berurutan[20]
c.       Hadist Mursal
Mursal menurut bahasa yang berarti  “yang dilepaskan”. Dan menurut istilah adalah hadist yang gugur rawi dari sanadnya setelah tabi’in, baik tabi’in besar maupun taabi’in kecil.
Seperti yang diketahui hadist mursal yang digugurkan adalah sahabat yang langsung menerima berita dari Rasulullah SAW. sedangkan yang mengugurkan dapat juga seorang tabi’in atau sahabat kecil. Ditinjau dari seigi siapa yang menggugurkan dan sifat penguguran hadist tersebut dapat dibagi pada hadist mursal jail, mursal shahabi, dan mursal khafi. [21]
1.      Mursal Jali adalah penguguran yang telah dilakukan oleh wari (tabi’in) jelas sekali, dapat diketahui oleh umum, bahwa orang yang menggugurkanitu tidak sezaman dengan orang yang digugurkan yang mempunyai berita.
2.      Mursal shahabi adalah pemberitaan sahabat yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW., tetapi tidak tidak mendengarkaan atau menyaksikan sendiriyang diberitakan.
3.      Mursal khafi adalah hadist yang diriwayatkan tabi’in, mana tabi’in yang meriwayatkan hidup sezaman dengan shahabi, tetapi tidak pernah mendengar sebuah hadist pun darinya.

d.      Hadist Munqathi
Hadist munqathi’ adalah hadist yang gugur seorang rawinya sebelum sahabat di satu tempat, atau gugur dua orang pada dua tempat dalam keadaan tidak berturut – turut.[41]

e.       Hadist Mudallas
Hadist mudallas adalah hadist yang diriwayatkan menurut cara yang diperkirakan bahwa hadist itu tidak bernoda.[22] rawi yang seerti itu disebut dengan mudallis. Hadist yang diriwayatkan mudallis disebut mudallas, dan perbuatannya disebut dengan tadlis.
Macam-macam tadlis sebagai berikut:
1.      Tadlis isnad adalah seorang rawi yang meriwayatkan suatu hadist dari orang yang sudah bertemu, tetapi rawi tersebut tidak pernah mendengar hadist darinya.
2.      Tadlis syuyukh adalah seorang rawi meriwayatkan sebuah hadist yang didengarkan dari seorang guru dengan menyebutkan nama kuniyah-nya, nama keturunannya atau menyifati gurunya dengan sifat-sifat yang belum/tidak dikenal oleh orang banyak.
3.      Tadlis taswiyah (Tajwid) adalah seorang rawi meriwayatkan hadist dari gurunya yang tsiqoh, yang oleh guru tersebut diterima dari gurunya yang lemah, dan guru yang lemah ini menerima dari seorang guru tsiqoh . tetapi mudallis tersebut meriwatkan tanpa menyebutkan rawi – rawi yang lemah, bahkan meriwayatkan dengan lafadzh yang mengandung  pengertian bahwa rawinya tsiqah semua.[23]






BAB III
PENUTUPAN
3.1 Kesimpulan
Sebagai akhir pembahasan tulisan ini, penulis sajikan kesimpulan umum sebagai berikut: 
1.      hadits diyakini sebagai sumber ajaran agama kedua setelah al-Quran. Disamping itu hadits juga memiliki fungsi sebagai penjelas terhadap ayat-ayat al-Qur’an sebagaimana dijelaskan dalam QS: an-Nahl ayat 44. Hadits tersebut merupakan teks kedua, sabda-sabda nabi dalam perannya sebagai pembimbing bagi masyarakat yang beriman.
2.      Hadits berdasarkan kuantitas (banyaknya jumlah perawi) atau orang yang meriwayatkan suatu hadits dapat dibagi menjadi dua, yaitu:
a. Hadist mutawattir
b. Hadist ahad
3.      Berdasarkan kualitas hadits dibagi menjadi tiga yaitu:
·         Hadits sahih
·         Hadits hasan
·         Hadits dhoif
 
  
DAFTAR PUSTAKA

Supatra, Munzeir. 2011. Ilmu Hadis. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada
Solahudin, M dan Suyadi Agus.2009.Ulumul Hadist. Bandung : CV Pustaka Setia
Sulaiman, M. Noor.  2008. Antologi Ilmu Hadits. Jakarta: Gaung Persda Pres
Anwar, Moh.1981.Ilmu Mushthaalah Hadist. Surabaya : Usana Offset Printing
Ash-Shiddieqy, M. Hasbi.1987. Sejarah dan Pengantar Imlu Hadist. Jakarta : Bulan Bintang
Al-Khatib, Muhammad ‘Ajjaj.2004.Ushul Al-Hadist. Terj.H.M. Qodirun Nur dan Ahmad Musyafiq.Jakarta : Gaya Media Pratama
Ibn al-Shalah dan Amir Utsman  bin Abd al-rahman.1972. Ulum al-Hadist. Madinah : Maktabat al-Islamiyah
Rahman, fatchur.1974.Ikhtisar Musthahalah Al-Hadist. Bandung : Al-Maarif
Azami, Muhammad Mustafa.1978.Studies in Early Hadist Literature, American Trust Publication, Indianopolis. Indiana           
Soetari, Endang.2005.Ilmu Hadisti : Kajian diriwayah dan Dirayah.Bandung : Mimbar Pustaka
Benpani. 2011. Makalah Studi Al-Hadis “Pembagian Hadis dari Segi Kuantitas dan Kualitas”. Dari http://b3npani.wordpress.com/tugas-kuliah/92-2/ diakses pada tanggal 26 September 2014


[1] M. Noor Sulaiman PL, Antologi Ilmu Hadits, Jakarta, Gaung Persda Pres, 2008. hlm. 86.
[2] Ibid hlm 86.
[3] Munzier Supatra. Ilmu Hadis. Jakarta. PT. RajaGrafindo Persada. 2011. hlm 98
[4] Ibid. Hlm 99
[5]  Noor Sulaiman. Op.cit Hlm. 91
[6] Munzier Supatra. Op.cit. hlm 111
[7] Ash-Shiddieqy, M. Hasbi. Sejarah dan Pengantar Imlu Hadist. Jakarta: Bulan Bintang. 1987. hlm. 117
[8] Ibn al-Shalah dan Amir Utsman  bin Abd al-rahman. Ulum al-Hadist. Madinah: Maktabat al-Islamiyah. 1972. hlm.10
[9] Abu Zakariyah yahya bin Syaraf al-Nawawi, al_Thariq li al-Nawawi fi Ushul al-Hadist, Kairo, t.th.h.2.
[10] Soetari, Endang. Ilmu Hadisti : Kajian diriwayah dan Dirayah.Bandung: Mimbar Pustaka. 2005. hlm.138
[11] Al-Khatib, Muhammad ‘Ajjaj. Ushul Al-Hadist. Terj.H.M. Qodirun Nur dan Ahmad Musyafiq.Jakarta : Gaya Media Pratama. 2004. hlm 305
[12] w.j.s poerwardarminto, kamus bahasa indonesia hlm.16
[13] Ibid. hlm.16
[14] Anwar, Moh. Ilmu Mushthaalah Hadist. Surabaya  Usana Offset Printing. 1981. Hlm. 38
[15] M.M Azami metodelogi Kritik Hadist. Terj A.Yamin. Jakarta :Pustaka Hidayah. 1992. hlm. 103.
[16] soetari. op.cit. hlm. 141.
[17] Al-Khatib. op.cit. hlm. 337
[18] Soetari. op.cit. hlm. 142
[19] Ibid. hlm 80
[20] Ibid. hlm 137
[21] rahman. op.cit. hlm. 209
[22] ibid. hlm. 209
[23] Ibid. hlm. 216-217


berikut filenya:
https://www.mediafire.com/?p8o354qud1kcv47https://www.mediafire.com/?xce2z2mmzdtawhu
 

No comments:

Post a Comment